Minggu, 08 Mei 2011

FATWA-FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA



1.     FATWA TENTANG PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK
Ketentuan Hukum
1.   Pada dasarnya, seseorang terbebas dari dakwaan perbuatan salah sampai adanya pengakuan atau bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa seseorang tersebut bersalah. Dengan demikian, fikih Islam menganut asas praduga tak bersalah dalam hukum. Kewajiban pembuktian dibebankan kepada penyidik dan penuntut, sedang sumpah bagi orang yang mengingkarinya.
2.   Pada kasus hukum tertentu, seperti penguasaan kekayaan seseorang yang diduga tidak sah, dimungkinkan penerapan asas pembuktian terbalik jika ditemukan indikasi (amarat al-hukm) tindak pidana, sehingga pembuktian atas ketidakbenaran tuduhan dibebankan kepada terdakwa.

Rekomendasi
1.      Perlu dipertimbangkan untuk merevisi beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, agar dimungkinkan adanya sistem pembuktian terbalik untuk menegakkan kemaslahatan umum dan mencegah maraknya tindak pidana akibat kesulitan pembuktian material.
2.      Para penegak hukum diharapkan dapat menangani dan mengadili perkara korupsi sekalipun hanya dengan menggunakan pendekatan pembuktian terbalik.

2.     FATWA TENTANG NIKAH WISATA

Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Nikah Wisata adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan, namun pernikahan tersebut diniatkan untuk sementara.

Ketentuan Hukum
Nikah Wisata sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum yang dikenal dengan istilah nikah mu’aqqat, hukumnya haram.





3.     FATWA TENTANG PENGGANTIAN DAN PENYEMPURNAAN ALAT KELAMIN

Ketentuan Hukum
A. Penggantian Alat Kelamin
1.            Merubah alat kelamin yang dilakukan dengan sengaja, misalnya dengan  operasi ganti kelamin, dan tidak ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan, hukumnya haram.
2.            Membantu melakukan operasi ganti kelamin sebagaimana point 1 hukumnya haram.
3.            Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penggantian alat kelamin sebagaimana point 1 tidak dibolehkan, sehingga tidak memiliki implikasi hukum syar’i terkait penggantian tersebut.
4.            Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi ganti kelamin sebagaimana point 1 adalah sama dengan jenis kelamin semula seperti sebelum dilakukan operasi ganti kelamin, meski telah memperoleh penetapan pengadilan.
B. Penyempurnaan Alat Kelamin
1.            Menyempurnakan alat kelamin bagi seorang khuntsa yang kelaki-lakiannya lebih jelas guna menyempurnakan kelaki-lakiannya, atau sebaliknya, hukumnya boleh.
2.            Membantu melakukan operasi penyempurnaan kelamin sebagaimana point 1 hukumnya boleh.
3.            Pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin harus didasarkan atas pertimbangan medis, bukan hanya pertimbangan psikis semata.
4.            Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penyempurnaan alat kelamin sebagaimana dibolehkan, sehingga memiliki implikasi hukum syar’i terkait penyempurnaan tersebut.
5.            Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi penyempurnaan kelamin adalah sesuai dengan kelamin setelah penyempurnaan sekalipun belum memperoleh penetapan pengadilan terkait perubahan status tersebut.
Rekomendasi
1.            Kementerian Kesehatan RI diminta untuk membuat regulasi pelarangan terhadap operasi penggantian alat kelamin dan pengaturan pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin dengan berpedoman pada fatwa ini;
2.            Organisasi profesi kedokteran diminta untuk membuat kode etik kedokteran terkait larangan praktek operasi ganti alat kelamin dan pengaturan bagi praktek operasi penyempurnaan alat kelamin dengan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
3.            Mahkamah Agung diminta membuat Surat Edaran kepada hakim untuk tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi ganti alat kelamin.
4.            Ulama dan psikiater (ahli kejiwaan) diminta aktif melakukan pendampingan terhadap seseorang yang memiliki kelainan psikis yang mempengaruhi perilaku seksual, agar kembali normal.

4. FATWA TENTANG PUASA BAGI PENERBANG (PILOT)
                                   
Ketentuan Umum :
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
1.      Penerbang (Pilot) adalah awak/kru pesawat yang bertugas menerbangkan pesawat komersial.
2.      Musafir tetap adalah seseorang yang melakukan perjalanan secara terus menerus.
3.      Musafir tidak tetap adalah seseorang yang melakukan perjalanan temporal.


Ketentuan Hukum :
1.      Penerbang (Pilot) boleh meninggalkan ibadah puasa Ramadhan sebagai rukhshah safar (keringanan karena bepergian); dengan ketentuan:
b.      penerbang yang berstatus musafir tetap dapat mengganti dengan membayar fidyah;
c.       penerbang yang berstatus tidak tetap wajib mengganti puasa di hari lain.
2.      Membuat peraturan yang melarang seseorang berpuasa Ramadhan hukumnya haram karena bertentangan dengan syariat Islam.

5. FATWA TENTANG INFOTAINMENT
Ketentuan Hukum
1.            Menceritakan aib, kejelekan, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
2.            Upaya membuat berita yang mengorek dan membeberkan aib, kejelekan, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
3.            Menayangkan dan menyiarkan berita yang berisi tentang aib, kejelekan, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain hukumnya haram.
4.            Menonton, membaca, dan atau mendengarkan berita yang berisi tentang aib, kejelekan orang lain, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait hukumnya haram.
5.            Mengambil keuntungan dari berita yang berisi tentang aib, kejelekan orang lain, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
6.            Menayangkan dan menyiarkan, serta menonton, membaca, dan atau mendengarkan berita yang berisi tentang aib, kejelekan orang lain, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi dibolehkan jika ada pertimbangan yang dibenarkan secara syar’i, seperti untuk kepentingan penegakan hukum, memberantas kemunkaran, memberi peringatan, menyampaikan pengaduan/laporan, meminta pertolongan dan/atau meminta fatwa hukum.

Rekomendasi
1.            Pemerintah diminta merumuskan aturan untuk mencegah konten tayangan yang bertentangan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan, dan nilai luhur kemanusiaan.
2.            Komisi Penyiaran Indonesia diminta untuk meregulasi tayangan infotainment untuk menjamin hak masyarakat memperoleh tayangan bermutu dan melindunginya dari hal-hal negatif.
3.            Lembaga Sensor Film diminta mengambil langkah proaktif untuk menyensor tayangan infotainment guna menjamin terpenuhinya hak-hak publik dalam menikmati tayangan bermutu.

6. FATWA TENTANG BANK SPERMA DAN BANK ASI

1.      Mendonorkan dan atau menjualbelikan sperma hukumnya HARAM karena bertentangan dengan hukum Islam dan akan menimbulkan kekacauan asal-usul serta identitas anak.
2.      Mendirikan bank sperma dengan tujuan seperti tersebut di point satu hukumnya HARAM.
3.      Mendirikan Bank ASI hukumnya boleh dengan syarat sebagai berikut:
1.      Dilakukan dengan musyawarah antara orang tua bayi dengan pemilik ASI sehingga ada kesepakatan dua belah pihak, termasuk pembiayaannya.
2.      Ibu yang mendonorkan ASI-nya harus dalam keadaan sehat dan tidak sedang hamil.
3.      Bank tersebut mampu menegakkan dan menjaga ketentuan syariat  Islam.


7. FATWA TENTANG PENCANGKOKAN (TRANSPLANTASI) ORGAN TUBUH

Ketentuan Hukum

1.      Orang yang hidup haram mendonorkan organ tubuhnya kepada orang lain.
2.      Orang yang hidup boleh mewasiatkan untuk mendonorkan organ tubuhnya kepada orang lain, dan diperuntukkan bagi orang yang membutuhkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       donor dilakukan dengan niat tabarru' (prinsip sukarela dan tidak tujuan komersial);
b.      pengambilan organ tubuh diambil setelah dinyatakan meninggal oleh minimal dua orang muslim terpercaya (tsiqah);
c.       dilakukan oleh dokter ahli di bidangnya; dan
d.      penerima donor dalam keadaan darurat (tidak ada pengobatan medik lain selain transplatasi).
3.      Seorang muslim boleh mewasiatkan untuk mendonorkan organ tubuh kepada non muslim, demikian pula sebaliknya jika pelaksanaannya memenuhi syarat sebagaimana disebutkan pada point 2.
4.      Menjual organ tubuh hukumnya haram, karena organ tubuh bukan miliknya tetapi milik Allah yang harus dijaga sebagai amanat.
5.      Menerima cangkok organ tubuh binatang hukumnya boleh,  jika dalam keadaan darurat (tidak ada pengobatan lain selain cangkok organ hewan tersebut) meskipun binatang najis.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 17 Sya’ban 1431 H
                          27 J u l i       2010 M

PIMPINAN KOMISI FATWA
MUSYAWARAH NASIONAL VIII
MAJELIS ULAMA INDONESIA



Prof. Dr. Huzaimah T Yanggo                   Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA
Ketua                                                              Sekretaris


TIM PERUMUS

Ketua              : Prof. Dr. Huzaimah T Yanggo                   
Sekretaris       :Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA                      

Anggota          :
1.      KH. Hasyim Abbas
2.      Buya H. Gusrizal Gazahar, Lc, MA
3.      Prof. Dr. H. Amir Syaruifuddin
4.      Dr. KH. Muhammad Masyhuri Na’im
5.      Dr. Maulana Hasanuddin
6.      Drs. KH. Musthafa Al-Amin
7.      dr Agus Taufiqurrohman. M.Kes, Sp.S