Selasa, 10 Januari 2012

CELOTEH TENTANG KORUPSI DAN INDEKS PRESTASI KORUPSI INDONESIA (CATATAN SINGKAT ULHAQ ANDYAKSA)

Seiring dengan kemajuan dan perkembangan ekonomi yang memicu lahirnya era globalisasi dan moderenisasi  telah merubah cara dan motif seorang yang melakukan tindak pidana yang dalu hanya dilakukan secara tradisional (Konvensional) sekarang telah bereformasi menjadi motif dan modus yang baru yang semakin kompleks dan multidimensional, kadang perilaku tersebut belum diatur dan ditentukan dalam suatu hukum yang tertulis sehingga perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan perilaku norma (hukum) yang berlaku, tidak menjadi masalah. Terhadap perilaku yang tidak sesuai norma biasanya dapat menimbulkan pemasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat.
Maraknya vonis bebas terhadap pelaku tindak pidana korupsi tentunya merupakan bencana dalam penegakan hukum pidana nasional kita, lemahnya penegakan hukum dan banyaknya celah hukum menjadikan lahirnya berbagai macam alasan dan pembelaan yang dapat digunakan untuk  menhapuskan sifat dapat di pidananya suatu perbuatan, hal ini akan berimplikasi terhadap bebasnya pelaku tindak pidana korupsi yang telah melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara, munculnya vonis bebas beberapa pengadilan tipikor tentunya bukan merupakan suatu hal yang aneh namun dapat dipertanyakan apakah putusan tersebut telah memenuhi aspek Kepastian hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan karena sejatinya dengan memberikan vonis bebas terhadap pelaku tindak pidana korupsi telah melukai rasa keadilan masyarakat (rectsgevoel) sebagai korban dari perilaku korup yang telah dilakukan dan tidak mendapatkan hukuman sebagaimana mestinya.
Korupsi dapat berkurang bila ada pemisahan kekuasaan, ada kontrol dan perimbangan, keterbukaan, sistem peradilan yanga baik, dan definisi yang jelas mengenai peranan, tanggungjawab, aturan dan batas-batas. Korupsi cenderung tidak dapat berkembang dalam budaya demokrasi, persaingan dan bila ada sistem kontrol yang baik, dan di tempat-tempat orang (pegawai, pelanggan, pengawas) memiliki hak untuk mendapat informasi dan hak untuk mengajukan pengaduan. Korupsi mudah berkembang jika banyak peraturan yang tumpang tindih dan rumit, dan bila wewenang pejabat besar dan tidak dapat dikontrol. Demikian pula rumus di bawah ini yang sangat berguna dalam penanganan korupsi :
                                                     C = M + D – A
Corruption (C) [Korupsi] sama dengan monopoli power (M) [kekuasaan monopoli] plus discretion by official (D) [wewenang pejabat] minus accountability (A) [akuntabilitas]. Jika seorang memegang monopoli atas barang atau jasa dan memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang berhak mendapatkan barang atau jasa dan berapa banyak, dan tidak ada akuntabilitas dalam arti orang lain dapat menyaksikan apa yang diputuskan oleh orang yang memegang wewenang itu maka kemungkinan besar akan kita temukan korupsi di situ (Robert Klitgaard  2002:29).
Korupsi adalah masalah dunia, terbukti diberbagai belahan dunia korupsi mendapatkan perhatian yang lebih dibanding dengan tindak pidana lainnya, hal ini dapat dimaklumi mengingat dampak sistemik yang negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Hasil survey Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan, Indonesia merupakan negara paling korup nomor enam dari 133 negara, Dikawasan asia, Banglades dan Myammar lebih korup dibanding Indonesia. Nilai indeks persepsi korupsi  (IPK) Indonesia ternyata lebih rendah dari pada negara tetangga, seperti Papua Nugini, Vietnam, Fhilipina, Malaysia, dan Singapura. Sementara itu ditingkat dunia, negara ber IPK lebih buruk dari Indonesia adalah negara yang sedang mengalami konflik seperti Anggola, Azerbaijan, Tajikistan dan Haiti (Eva Hartanti, 2009:2).
Sebagai negara yang mempunyai tingkat KKN yang sangat tinggi Indonesia sebagai negara yang terkorup ke enam dari 133 negara yang disurvey pada tahun 2003, survey yang dilakukan Transparency International (TI) lembaga yang berbasis di Berlin Jerman, terbukti IPK Indonesia sejak tahun 2001 hingga sekarang masih menunjukkan angka yang sangat rendah yaitu 1,9 dari rentang nilai 1-10. Dengan nilai itu Indonesia berada dalam posisi 122 dari 133 negara yang di Survey. Lebih lanjut survey Indeks Persepsi korupsi yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia pada tahun 2008, 2009,  dan 2010. Skor Indonesia dalam CPI 2009 adalah 2,8. Skor ini dapat dibaca bahwa Indonesia masih dipandang rawan korupsi oleh para pelaku bisnis maupun pengamat/analis negara. Skor Indonesia yang sangat rendah menunjukkan bahwa usaha pemberantasan korupsi masih jauh dari berhasil dan komitmen pemerintah terhadap terbentuknya tata kelola pemerintahan yang lebih baik harus dipertanyakan. Ini sangat memprihatinkan apalagi bila skor Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,5), dan Thailand (3,3) (Transparency International Indonesia.Com)
Pada CPI 2008, Indonesia mendapat skor 2,6. Kenaikan sebesar 0,2 tersebut tidak perlu dilihat sebagai suatu prestasi yang harus dibangga-banggakan karena skor 2,8 masih menempatkan Indonesia sebagai negara yang dipersepsikan korup. Pada tahun 2010 khusus untuk Indonesia skor IPK Indonesia adalah 2,8, sama seperti skor pada tahun 2009. Artinya, tak ada kemajuan, jalan di tempat, stagnan. Pemberantasan korupsi bisa membahana dengan segala kegemuruhannya tetapi pada sisi lain korupsi jalan terus: corruption as usual, pada tahun 2010 Indonesia berada satu klas dengan Negara seperti benin, Bolivia, Gabon, Kosovo dan Solomon Islands yang sama-sama punya skor 2,8 dan berada dalam urutan 110. Indonesia kalah dengan negara-negara tetangga yang skornya lebih baik seperti  Singapore (9,3), Brunei (5,5), Malaysia (4,4) dan Thailand (3,5). Tetapi kita lebih baik dari  Vietnam (2,7), Phillipine (2,4), Cambodia (2.1), Laos (2,1) dan Myanmar (1,4) (Transparency International Indonesia.Com).
Anjloknya Indeks Persepsi Korupsi indonesia diakibatkan carut marutnya penagakan hukum pidana korupsi di Indoensia yang terkesan lamban dan stagnan, seperti pada kasus tahun 2010 antara Cicak vs Buaya, Pelemahan sistematis terhadap KPK dilakukan dengan berbagai cara, dari pengajuan judicial review terhadap UU KPK, legislative review terhadap UU KPK, kriminalisasi pimpinan KPK sampai dengan penarikan sejumlah personel dari KPK, dan kasus Mafia Pajak Gayus Tambunan, semakin menunjukkan kelemahan penegakan hukum pidana korupsi di Indonesia.
Berhubungan dengan itu Tindak Pidana korupsi merupakan tindak pidana yang tergolong tindak pidana yang kompleks, multidimensional dan multisektoral yang kadang perbuatan tersebut melanggar rasa keadilan masyarakat tetapi tidak diatur dalam hukum positif sehingga pemidanaan terhadap perbuatan tersebut terhambat aturan hukum yang ada yang menkehendaki pelaksanaan asas legalitas secara kaku dan cenderung menganut paham positifis absolut lahirnya vonis bebas tentunya bukan suatu putusan yang tidak didasari fakta yuridis yang kuat, banyaknya kelemahan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan putusan Mahkamah Konstitusi merupakan cambuk bagi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi dengan dihapusnya sifat melawan hukum materiil dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 merupakan langkah mundur dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin menemukan celah hukum yang semakin menpermudah argumen yuridis pelaku untuk menbebaskan perbuatnnya dari suatu pemidanaan.


*Ulhaq Andyaksa Lebih baik miskin dalam rupiah dari pada kaya akibat Korupsi, lebih baik hidup dalam keterasingan dan kemiskinan tetapi mulia di mata Allah.