Sabtu, 08 Oktober 2011

Pihak- Pihak Yang Terlibat Dalam Persidangan Tindak Pidana

Terdakwa :
·         Pihak yan dituntut dalam persidangan oleh jaksa penuntut umum
·         Berhak mendapatkan bantuan hokum atau didampingi oleh penasihat hukum

Jaksa Penuntut Umum (JPU) :
·         Pejabat yang diangkat untuk menuntut siterdakwa berdasarkan BAP dan dituangkan dalam surat dakwaan
·         Jaksa bersama dengan Polisi bekerja sama dalam menguak kasus pidana
·         Dapat melakukan penahanan terhadap terdakwa apabila memungkinkan sidang akan ditangguhkan sementara

Penasihat Hukum :
·         Seseseorang yang mempunyai kapasitas untuk mendampingi terdakwa dalam persidangan,mengajukan eksepsi (pembelaan),mengajukan memori banding dan kasasi,menajukan permohonan penangguhan penahanan terdakwa,mengajukan permohonan menghadirkan saksi untuk meringankan terdakwa.

Hakim :
·         Dalam sisitem eropa koninental yang dikenal itu ada tiga hakim,yaitu 2 hakim anggota dan 1 hakim ketua
·         Dalam putusan dapat dilaksanakan voting apabila musyawarah diantara ketiga hakim tersebut tidak tercapai
·         Hakim dapat mengundurkan diri apabila apabila bila:
1)      yang diadili adalah mantan istri
2)      masih mempunyai hubungan keluarga
·         Mengeluarakan 3 jenis putusan :
1.      Putusan pemindanaan
2.      Putusan bebas,yaitu bukti ynag tidak cukup untuk menjerat siterdakwa
3.      Bebas dari putusan,yaitu yang disidang belum cakap,orang gila/ gangguan  psikologis

Saksi:
·         Orang yang melihat,medengarkan dan mengalami kejadian pidana tersebut


Panitera:
·         Membuat berita acara persidangan
·         Mencatat hal-hal yang terjadi selama persidangan berlangsung
·         Memeriksa dan menerima memori banding dan kasasi
·         Mencatat hasil – hasil sidang

Penyelesaian sengketa TATA USAHA NEGARA

I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no.a 5 tahun 1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah Sendiri.
Bentuk upaya administrasi:
1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
2. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.


II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak, yaitu:
  • Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.
  • Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.
HAK PENGGUGAT:
1.mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu Keputusan Tata Usahan Negara. (pasal 53)
2. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
3. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60)

4. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).
5. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 67).
6. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1)
7. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1)
8. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
9. Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan (pasal 82)
10. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
11. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (pasal 98 ayat 1)
12. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (pasal 120)
13. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (pasal 121)
14. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
15. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
16. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
17. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

KEWAJIBAN PENGGUGAT:
Membayar uang muka biaya perkara (pasal 59)

HAK TERGUGAT:
1. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
2. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65)
3. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2)
4. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan olen pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76 ayat 2)
5. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
6. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
7. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (pasal 97 ayat 2)
8. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
9. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
10. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
11. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

KEWAJIBAN TERGUGAT:
1. Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN wajib (pasal 97 ayat 9):
a. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan; atau
b. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;
c. Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
2. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan penggugat (pasal 117 ayat 1)
3. Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan ganti rugi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120)
4. Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan rehabilitasi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121)

PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN

PEMANGGILAN PIHAK-PIHAK:
Pada Pengadilan Tata Usaha Negara, pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa dilakukan secara administrative yaitu dengan surat tercatat yang dikirim oleh panitera pengadilan.
Pemanggilan tersebut mempunyai aturan sebagai berikut:
- Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.(pasal 65 UU No 5 tahun 1986)
- Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara (pasal 64 UU No 5 tahun 1986)

KEWAJIBAN HAKIM:
1. Mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas (pasal 63)
2. Menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan perintahnya dilaksanakan dengan baik (pasal 68).
3. Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan salah seorang hakim anggota atau panitera (pasal 78 ayat 1)
4. Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasehat hukum (pasal 78 ayat 2)
5. Mengundurkan diri apabila ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa (pasal 79 ayat 1)
6. Menanyakan identitas saksi-saksi (pasal 87 ayat 2)
7. Membacakan Putusan Pengadilan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 108 ayat 1)

PIHAK KETIGA:
1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83)
2. Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1)






BESCHIKKING, REGELING, METERIELE DAAD. (HAN ULHAQ)

PENDAHULUAN
Dalam pokok bahasan ini akan menbahas tindakan hukum pemerintah yang berkaitan dengan tindakan hukum yang di lakukan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya menyangkut bidang hukum publik berati tindakan  hukum yang dilakukan tersebut berdasarkan hukum publik atau yaitu tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan hukum publik dengan melihat kedudukan pemerintah dalam  menjalankan tindakat hukum publik , pada dasarnya, siapapun yang menyampaikan pendapatnya tentang kebijakan publik di dalamnya terdapat suatu langkah ataupun tindakan oleh pemerintah (penguasa). Langkah dari tindakan itu mempunyai maksud dan tujuan yaitu bagi pemerintah dan masyarakat. Untuk pemerintah diharapkan memperoleh dukungan sedangkan untuk masyarakat biasanya adalah dicapainya kesejahteraan kehidupan masyarakat. Dalam melaksanakan kebijakan publik untuk memudahkan pelaksanaannya biasanya ada proses paksaan, legitimasi dari kebijakan publik itu ditempatkan pada produk hukum, ketentuan hukum, peraturan hukum. Jadi menurut penulis kebijakan publik harus memenuhi beberapa hal yaitu sebagai berikut : adanya kepastian hukum yang mengikat bagi penentu kebijakan dan masyarakat, diputuskan oleh pemerintah, keputusan dapat diterima oleh masyarakat, dan bertujuan mensejahterakan masyarakat. Untuk lebih jelasnya penulis akan memeparkan tiga langkah  Perbuatan/tindakan hukum yang bersifat hukum  publik khususnya dalam  hukum administrasi yang di kenal dengan BESCHIKKING, REGELING, METERIELE DAAD. Sebagai berikut: 

Pembahasan

Perbuatan Hukum
Secara umum bentuk perbuatan hukum yang dapat dikategorikan menjadi dua golongan, yakni perbuatan hukum yang bersifat hukum privat, dan perbuatan hukum yang bersifat hukum privat, dan perbuatan hukum yang bersifat hukum publik.
                                          
1.Perbuatan Hukum yang Bersifat Hukum Privat
Ada dua pendapat yang mempermasalahkan tentang daptkah pemerintah(penguasa) atau lebih konkretnya adalah badan/pejabat tata usaha negara mengadakan hubungan hukum privat.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Prof.Scholten,menyatakan bahwa badan/pejabat tata usaha negara tidak dapat menggunakan hukum privat dalam menjalankan tugas  pemerintahan dengan alasan sifat hukum privat adlah mengatur hubungan hukum yang merupakan kehendak dua belah pihak yang seimbang kedudukanya dan bersifat perorangan. Misalnya,jual beli, sewa menyewa,tukar menukar dsb. Selanjutnya dikatakan  bahwa untuk badan/pejabat tata usaha negara  hanya dimungkinkan satu tindakan dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum.
Pendapat kedua,dikemukakan oleh Prof.Krabbe, Kranenburg, Vegtig, donner, dan Huart bahwa badan/hal tertentu dapat menggunakan hukum privat.

2 Perbuatan Hukum yang Bersifat Hukum Publik
Maksud dan penelahaan perbuatan hukum yang bersifat hukum publik adalah berupa perbuatan atau tindakan hukum administrasi atau tata usaha negara yang dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha negara, dan bukan perbuatan/tindakan hukum publik lainnya, misalnya tindakan dalam hukum pidana, tindakan dalam hukum tata negara yang sama-sama termasuk dalam lingkaran hukum publik. 

Perbuatan/tindakan hukum administrasi atau tata usaha negara yang dilakukan oleh badan/pejaba tata usaha negara menpunyai sifat-sifat sebagai berikut.
1.perbuatan/tindakan hukum tersebut dilakukan dalam hal atau keadaan menurut cara-cara yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan                 
2.perbuatan/tindakan hukum tersebutm mengikat warga masyarakat sekalipun yang bersangkutan tidak menghendakinya.
3.perbuatan/tindakan hukum tersebut bersifat sefihak. Dilakukan atau tidak dilakukan tergantung pada kehendak badan/pejabat tata usaha usaha negara yang memiliki wewenang pemerintah.
4.Perbuatan atau tindakan hukum tersebut bukan merupakan pernyataan kehendak badan/pejabat tata usaha negara, melainkan merupakan suatu konsekuensi dari pelaksanaan fungsi pemerintahan yang dilandasi suatu wewenang.
5.perbuatan/tindakan hukum tersebut memerlukan pengawasan secara preventiv/represif.
6.dalam perbuatan/tindakan hukum tersebut terdapat hubungan antara penguasa dengan warga masyarakat yang berbeda, misalnya dalam hukum perdata.

Perbuatan/tindakan hukum yang bersifat hukum publik khususnya dalam hukum administrasi yang dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha negara dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Beschikking(mengeluarkan keputsan)
2. Regeling (mengeluarkan peraturan)
3. Materiele Daad (melakukan perbuatan materiil) 

1.Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking)
Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) menurut Prof. Muchsan adalah penetapan tertulis yang diproduksi oleh Pejabat Tata Usaha Negara, mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final. Jika kita melihat definisi tersebut, maka terdapat 4 (empat) unsur Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu:
1. Penetapan tertulis;
2. Dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara;
3. Mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan;
4. Memiliki 3 (tiga) sifat tertentu (konkrit, individual dan final).
 Sebelum menguraikan unsure-unsur ketetapan di atas, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian ketetapan berdasarkan pasal 2 UU Administrasi Belanda (AWB)  dan menurut pasal 1 dan 3 UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUNjo UU No.9 Tahun 2004 tentang perubahan UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN yaitu sebagai berikut.
Pernyataankehendak tertulis secara sepihak dari organ pemerintahan pusat, yang di berikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari hukum tata Negara atau hokum Adminstrasi, bukan di madsudkan untuk penentuan, penhapusan, atau pengakhiran hubungan hukum yang sudah ada,atau menciptakan hubungan hokum yang baru, yang memuat penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan, penhapusan, atau penciptaan.
Berdasarkan definisi ini tampak ada enam unsur keputusan, yaitu sebagai berikut:
a.       Suatu pernyataan kehendak tertulis;
b.      Di berikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari hokum tata Negara atau hokum administrasi;
c.       Bersifat sepihak;
d.      Yang di madsudkan untuk penentuan, penhapusan, atau pengakhiran hubungan hokum yang sudah ada, atau menciptakan hubungan hokum baru,yang memuat penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan,penhapusan, atau penciptaan;
e.       Berasal dari organ pemerintahan.

Penjelasan keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, didefinisikan sebagai berikut:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Sesuai dengan isi rumusan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut memiliki elemen-elemen utama sebagai berikut:
1. Penetapan tertulis;
Pengertian penetapan tertulis adalah cukup ada hitam diatas putih karena menurut penjelasan atas pasal tersebut dikatakan bahwa “form” tidak penting bahkan nota atau memo saja sudah memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis.
2. (oleh) badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
Pengertian badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menyatakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan atas Pasal 1 angka 1 menyatakan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif. Menurut Prof. Muchsan, aparat pemerintah dari tertinggi sampai dengan terendah mengemban 2 (dua) fungsi, yaitu:
a. Fungsi memerintah (bestuurs functie)
Kalau fungsi memerintah (bestuurs functie)  tidak dilaksanakan, maka roda pemerintahan akan macet.
b. Fungsi pelayanan (vervolgens functie)
Fungsi pelayanan adalah fungsi penunjang,  kalau tidak dilaksanakan maka akan sulit mensejahterakan masyarakat.
Dalam melaksanakan fungsinya, aparat pemerintah selain melaksanakan undang-undang juga dapat melaksanakan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diatur dalam undang-undang. Mengenai hal ini Philipus M. Hadjon menerangkan bahwa pada dasarnya pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi atas dasar fries ermessen dapat melakukan perbuatan-perbuatan lainnya meskipun belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Selanjutnya Philipus M. Hadjon menambahkan bahwa di Belanda untuk keputusan terikat (gebonden beschikking) diukur dengan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis), namun untuk keputusan bebas (vrije beschikking) dapat diukur dengan hukum tak tertulis yang dirumuskan sebagai “algemene beginselen van behoorlijk bestuur” (abbb). Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara janganlah diartikan semata-mata secara struktural tetapi lebih ditekankan pada aspek fungsional.
3. Tindakan hukum Tata Usaha Negara;
Dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan (ambt). Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber yakni atribusi, delegasi dan mandat akan melahirkan kewenangan (bevogdheit, legal power, competence). Dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat ialah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) dari subyek hukum (orang atau badan hukum). Pada uraian diatas yang dimaksud dengan atribusi adalah wewenag yang melekat pada suatu jabatan (Pasal 1 angka 6 Nomor 5 Tahun 1986 menyebutnya: wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara yang dilawankan dengan wewenang yang dilimpahkan). Delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada. Delegasi menurut Prof. Muchsan adalah pemindahan/pengalihan seluruh kewenangan dari delegans (pemberi delegasi) kepada delegataris (penerima delegasi) termasuk seluruh pertanggungjawabannya. Mengenai mandat Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa dalam hal mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan. Sedangkan Prof. Muchsan mendefinisikan mandat adalah pemindahan/pengalihan sebagian wewenang dari mandans (pemberi mandat) kepada mandataris (penerima mandat) sedangkan  pertanggungjawaban masih berada ditangan mandans.
4. Konkret, individual dan Final;
Elemen konkrit, individual dan final barangkali tidak menjadi masalah (cukup jelas). Unsur final hendaknya dikaitkan dengan akibat hukum. Kriteria ini dapat digunakan untuk menelaah pekah tahap dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara berantai sudah mempunyai kwalitas Keputusan Tata Usaha Negara. Kwalitas itu ditentukan oleh ada-tidaknya akibat hukum.
5. Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Elemen terakhir yaitu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata membawa konsekuensi bahwa penggugat haruslah seseorang atau badan hukum perdata. Badan atau pejabat tertentu tidak mungkin menjadi penggugat terhadap badan atau pejabat lainnya.
Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking)
Para sarjana hukum menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk mengartikan “beschikking”. E. Utrecht menyebutnya “ketetapan”, sedangkan Prajudi Atmosudirdjo menyebutnya “penetapan”. Pengelompokan istilah tersebut antara lain oleh: Van der Wel, E. Utrecht dan Prajudi Atmosudirdjo.
1. Van der Wel membedakan keputusan atas:
a. De rechtsvastellende beschikkingen;
b. De constitutieve beschikkingen yang terdiri atas:
1) Belastende beschikkingen (keputusan yang memberi beban);
2) Begunstigende beschikkingen (keputusan yang menguntungkan);
3) Statusverleningen (penetapan status).
c. De afwijzende beschikkingen (keputusan penolakan).
2. E. Utrecht membedakan ketetapan atas:
a. Ketetapan Positif dan Negatif
Ketetapan Positif menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai ketetapan. Ketetapan Negatif tidak menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada. Ketetapan Negatif dapat berbentuk: pernyataan tidak berkuasa (onbevoegd-verklaring), pernyataan tidak diterima (niet-ontvankelijk verklaring) atau suatu penolakan (awijzing).
b. Ketetapan Deklaratur dan Ketetapan Konstitutif
Ketetapan Deklaratur hanya menyatakan bahwa hukumnya demikian (recthtsvastellende beschikking) sedangkan Ketetapan Konstitutif adalah membuat hukum (rechtscheppend).
c. Ketapan Kilat dan Ketetapan Tetap (blijvend)
1) Menurut Prins, ada empat macam Ketetapan Kilat: ketetapan yang berubah mengubah redaksi (teks) ketetapan lama;
2) Suatu Ketetapan Negatif;
3) Penarikan atau pembatalan suatu ketetapan;
4) Suatu pernyataan pelaksanaan (uitverbaarverklaring);
5) Dispensasi, izin (vergunning), lisensi dan konsesi.
3. Prajudi Atmosudirjo, membedakan dua macam penetapan yaitu penetapan negatif (penolakan) dan penetapan positif (permintaan dikabulakan). Penetapan negatif hanya berlaku sekali saja, sehingga seketika permintaannya boleh diulangi lagi. Penetapan Positif terdiri atas lima golongan yaitu:
a. Yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya;
b. Yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu objek saja;
c. Yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum;
d. Yang memberikan beban (kewajiban);
e. Yang memberikan keuntungan.
Penetapan yang memberikan keuntungan adalah:
1) dispensasi, yaitu pernyataan dari pejabat administrasi yang berwenang, bahwa suatu ketentuan undang-undang tertentu memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan seseorang di dalam surat permintaannya;
2) izin (vergunning), yaitu dispensasi dari suatu larangan;
3) lisensi, yaitu izin yang bersifat komersial dan mendatangkan laba;
4) konsesi, yaitu penetapan yang memungkinkan konsesionaris mendapat dispensasi, izin, lisensi, dan juga semacam wewenang pemerintahan yang memungkinkannya untuk memindahkan kampung, membuat jalan raya dan sebagainya. Oleh karena itu pemberian konsesi haruslah dengan kewaspadaan, kewicaksanan, dan perhitungan yang sematang-matangnya.
Sedangkan mengekurkan keputusan merupakan perbuatan pemerintah dalam bidang hukum publik bersegi satu dapat dikategorikan lagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
a.sepihak konkret individual
contoh: keputusan tentang pengangkatan/pemberhentian seseorang sebagai pegawai negeri sipil, keputusan tentang pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan publik, penetapan pajak seseorang.
b.sepihak konkret umum
contoh: keputusan presiden tentang kenaikan gaji PNS, keputusan menteri tenaga kerja tentang upah minimum, dsb.
c.lebih dari satu badan/pejabat TUN-konkret-umum
contoh: keputusan bersama menteri agama dan menteri pendidikan tentang pengangkatan guru agama.

           
2. Regeling (Mengeluarkan peraturan)
Regeling merupakan perbuatan pemerintah dalam hukum publik berupa suatu pengaturan yang bersifat umum dan abstrak. Pengaturan yang dimaksud dapat berbentuk. Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dsb. Melalui regeling terwujud kehendak pemerintah bersama lembaga legislatif, ataupun oleh pemerintah sendiri.
Perbuatan pemerintah yang dilakukan dalam bentuk mengeluarkan peraturan atau regeling, dimaksudkan dengan tugas hukum yang diemban pemerintah dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang sifatnya umum. Maksud perkataan umum dalam pengertian regeling atau peraturan,berarti bahwa pemerintah atau pejabat tata usaha negara sedang dalam upaya mengatur semua warga masyarakat tanpa terkecuali, atau dengan perkataan lain peraturan ini ditujukan kepada semua warga masyarakat tanpa terkecuali, dan bukan bersifat khusus. Sebagai contoh adalah perbuatan pemerintah menerbitkan peraturan,tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam upaya mengajukan permohonan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) ataupun Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) .Dalam kedua peraturan tersebut, pemerintah tidak menyebut nama atau identitas orang perorang, akan tetapi secara umum kepada setiap orang yang akan melaksanakan permohonan ke dua akta hukum di atas.

3.      Materiele Daad (melakukan perbuatan materiil)
Materiele Daad merupakan perbuatan hukum publik yang dilakukan  oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang dilakukan menurut hukum perdata. Dalam materiele Daad terdapat dua kehendak (bersegi dua), yakni kehendak pemerintah dan kehendak sipil yang tidak sama kedudukannya. Dilihat dari segi materiil, maka dalam materiele daad terdapat perbuatan hukum dalam hukum perdata, misalnya: perjanjian kerja, kerja sama, tukar menukar, tukar guling, dsb. Dilihat dari segi formil, dalam materiele daad perbuatan-perbuatan hukum tersebut dibungkus dalam baju keputusan badan atau pejabat TUN.
Dalam kenyataannya, bahwa terlihat pihak pemerintah ingin membangun dan mengadakan perbaikan perumahan untuk penduduk di daerah tertentu. Namun, pemerintah tidak memiliki dana yang mencukupi. Untuk maksud tersebut, perlu mengadakan perjanjian dengan pihak swasta mengenai bagaimana pihak pemerintah memberi jaminan pada pihak lawan kontraknya, bagaimana pihak lawan kontraknya menentukan peruntukan penghuninya, dan sebagainya. Contoh lain, dalam kenyataan mengenai distribusi dan penyerahan tenaga listrik, energi, air minum, dan gas dilakukan privatisasi, artinya penyelenggaraan distribusi sarana-saran kehidupan pokok tersebut diserahkan kepada perusahaan-perusahaan swasta. Tindakan hukum yang dilakukan pemerintah tersebut dalam wujudnya berupa suatu hubungan hukum yang dilakukan pemerintah tersebut dalam wujudnya berupa suatu hubungan hukum dalam bentuk kontrak-kontrak standar dimana syarat-syarat perjanjiannya diletakkan dalam syarat-syarat penyerahan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.
Perbuatan pemerintah yang merupakan perbuatan materiil, adalah perbuatan nyata yang dilakukan oleh semua pejabat atau badan tata usaha negara sehari-hari. Perbuatan ini secara riil dapat dilihat dengan mata telanjang sekali pun, yaitu seperti tugas PEMDA melakukan perbaikan jalan, penebangan pohon, pengerukan sungai dan perbuatan lain yang sifatnya secara nyata dilakukan.

PENUTUP

Dari ketiga tindakan administrasi pemerintah yang di bahas pada makalah ini penulis lebih menitik beratkan ke tindakan beschikking, karena beschikkin masuk dalam wilayah PTUN untuk di periksa dan di putus sengketanya, sedangkan untuk perbuatan pemerintah lainnya yaitu melakukan perbuatan materiil maupun mengeluarkan peraturan , tidak ditangani PTUN. Sengketa yang menyangkut peraturan dan perbuatan materril, ditangani oleh peradilan umum melalui gugatan perdata biasa. Khusus sengketa terhadap peraturan, maka selain dapat ditangani melalui jalur sengketa di PN ataupun melalui permohonan hak uji materiil di Mahkamah Agung.

Rabu, 05 Oktober 2011

Pro Kontra Pencabutan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Peraturan PerUU yang Pro
  1. Pemeliharaan hutan, hak ulayat dan penetapan kawasan hutan lindung :
a.       Pasal 3 UU No. 5 tahun 1960 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Tetapi meskipun hak ulayat diberikan kepada suatu kelompok masyarakat seaakn-akan itu adalah hak miliknya tetapi perlu dierphatikan Pasal 1 huruf (1) “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”.
b.      Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1960 “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap orang, Badan Hukum atau Instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak-pihak ekonomi lemah”.
Dimana tiap-tiap orang dalam hal ini termasuk masyarakat adat seharusnya memelihara tetapi malah menyewakannya kepada investor asing untuk di eksploitasi yang justru menyebabkan kerusakan hutan dan kerugian tidak hanya dalam bidang ekonomi.
c.       Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
d.      Pasal 2 PP Nomor 28 tahun 1985, “Kegiatan Perlindungan Hutan bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat memenuhi fungsinya”.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan segala usaha, kegiatan dan tindakan untuk mencegah dan membatasi kerusakan  hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya  alam, hama dan penyakit, serta untuk memprtahankan dan menjaga hak – hak negara atas hasil hutan.
e.       Menurut UU Nomor 23 tahun 1997, Konservasi Sumber Daya Alam adalah pengelolaan sumber daya alam tak dapat diperbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan dapat diperbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
f.       UU Nomor 5 tahun 1990, pengertian tentang Konservasi sumber daya alam di atas lebih dipersingkat menjadi Pengelolaan sumber daya alam hayati yang pengelolaannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungn persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
g.      Menurut UU No. 41 tahun 1999, “penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari”. Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :
a.       Mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh manusia, ternak, kebakaran, daya – daya alam, hama serta penyakit
b.      Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, hasil hutan, inventarisasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
h.      Pasa l 23 UU No. 41 tahun 1999 “Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya”.
i.        Pasal 40 UU No. 41 tahun 1999 “Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga”.
j.        Pasal 43 ayat (1) UU No 41 tahun 1999 “Setiap orang yang memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi”.
k.      Pasal 68 ayat (1) UU No 41 tahun 1999 “Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan” tetapi dalam Pasal 69 (1) UU No. 41 tahun 1999 “Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan”
Teori yang Pro
1.        Hak ulayat adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku. Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat individual. Dalam pada itu, hak individual tersebut bukanlah bersifat pribadi, semata-mata, di dasari, bahwa yang dikuasai dan digunakan itu adalah sebagian dari tanah bersama. Oleh karena itu dalam penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompok, maka sifat penguasaan yang demikian itu pada dirinya mengandung apa yang disebut dengan unsur kebersamaan. Oleh sebab itu, hak bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak kepunyaan bersama, maka dalam rangka hak ulayat dimungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pasal 1 huruf 8 UU Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan “Hutan Lindung, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai sistem penyangga kehidupan, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah”.
2.        Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999) dalam Herlin Nurhidayati (2002 : 1)  menyatakan bahwa hutan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan dunia. Oleh karena itu, keberadaan hutan sangat penting bagi kehidupan baik hutan sebagai hutan produksi, sebagai perlindungan sistem penyandang kehidupan, sebagai tempat pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, sebagai tempat pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya atau sebagai tempat wisata alam.
3.        Peneliti Masalah-masalah Tanah Hak Ulayat Bismark Sanusi menyatakan tak dapat dibenarkan, jika di masa kini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari hubungannya dengan masyarakat hukum dan daerah lainnya di lingkungan negara kesatuan. "Sikap demikian dalam prakteknya menghambat usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya
4.        Lahan kritis merupakan suatu lahan yang kondisi tanahnya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia atau biologi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi di sekitar daerah pengaruhnya. Lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengatur media pengatur tata air, unsur produksi pertanian, maupun unsur perlindungan alam dan lingkungannya.
5.        Menurut UU Nomor 41 tahun 1999, Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem keidupan tetap terjaga. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diselengaarakan melalui kegiatan Reboisasi, Penghijauan, Pemeliharaan, Pengayan tanaman, atau Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis da tidak produktif. Menurut Supriyanto (1996 : 1) Kegiatan reboisasi dan penghijauan pada umunya dilakukan pada tanah kritis dan areal bekas pembalakan. Kedua kegiatan tersebut memerlukan bibit dalam jumlah besar dan berkualitas baik.
Fakta yang Pro
Fakta yang menunjukkan bahwa masalah pencabutan hak ulayat dalam penetapan kawasan hutan lindung:
a.       Kasus PT Freeport Indonesia, PT Newmoon Minahasa, Exen Mobile jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yaitu “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hak ulayat yang diberikan kepada masyarakat hukum adat malah dipakai oleh pihak asing untuk kepentingan investor sendiri. Dan dibeberapa kejadian lain bahwa hak ulayat malah disewakan kepada pihak lain. Memang hak itu bisa dipakai oleh jika dengan persetujaun oleh masyarakat hukum adat itu sendiri tetapi apabila disalahgunakan. Tentu hal itu tidak dapat dibiarkan.
b.      Jika klaim hak ulayat warga masyarakat hukum adat memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999, dan telah dilakukan penelitian sesuai prosedur, maka pemerintah harus mengakui dan menghormati hak ulayat warga masyarakat hukum adat tersebut. Peneliti Masalah-masalah Tanah Hak Ulayat Bismark Sanusi menyatakan berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tampak jelas bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, kalau memang dalam kenyataannya masih ada. Dan bila hak ulayat itu akan dipergunakan oleh pihak lain, haruslah atas persetujuan masyarakat pemilik hak ulayat tersebut. Tetapi apabila hak tersebut disalahgunakan maka tentu hak ulayat tersebut dapat dicabut.
c. Tanah-Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. 
Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
IV. KESIMPULAN 
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sekiranya dapat kami gambarkan bahwasanya hak ulayat dalam masyarakat hukum adat tersebut selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah-bersama para anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata, juga mengandung tugas, kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan peruntukan dan penggunaannya yang termasuk bidang hukum publik.  Hak bersama dalam masyarakat adat yang merupakan hak ulayat bukan hak milik dalam arti yuridis, melainkan merupakan hak kepunyaan bersama yang itu adalah kepentingan bersama.
Kesimpulan
1.    Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya dalam menghapusnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Tetapi apabila hak ulayat yang diberikan telah disalahgunakan dan telah merugikan negara dan bangsa Indonesia apakah hal tersebut akan dibiarkan. Negara dalam hal ini demi kepentingan umum maka dapat mencabut hak ulayat demi kepentingan nasional.
2.    Sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUUD 1945 “Bumi dan air dan kekayaan alam uyang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar keakmuran rakyat.”
Apabila hak ulayat yang diberikan kepada kelompok masyarakat sudah bertentangan dengan konstiusi dan disalahgunakan. Maka demi kepentingan umum hak ulayat harus dicabut untuk pelestarian, rehabilitasi dan perlindungan hutan serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.