Jumat, 09 Maret 2012

Perbedaan Sistem Hukum Pidana Antara Indonesia Dengan Filipina Dan, Karakteristiknya Masing-Masing. (2008 silam)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Paton mengatakan bahwa semua masyarakat yang telah mencapai tingkat perkembangan tertentu harus menciptakan suatu sistem hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu. Jika masyarakat berkembang, maka konsepsi-konsepsi hukum akan menjadi lebih sempurna dan kepentingan yang dilindungi akan berubah. Menurut Paton selanjutnya, tidak ada alasan bagi kita untuk berusaha tidak menjawab berbagai permasalahan tersebut.1
Statement yang dikemukakan G.W. Paton tersebut adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri lagi. Kemajuan-kemajuan dalam bidang sosial, budaya, dan teknologi bergerak begitu cepat. Akibatnya, berbagai sarana dan pranata-pranata yang telah ada seperti peraturan perundang-undangan menjadi ketinggalan dan tidak sesuai lagi dengan dinamika masyarakat dan pembangunan zaman.
Dalam rangka pembangunan hukum itu, diperlukan terlebih dahulu adanya perencanaan hukum (legal planning) yang dapat menampung segala kebutuhan dalam suasana perubahan-perubahan sosial atau dinamika masyarakat. Namun sebagaimana dikatakan Sunaryati Hartono., “Legal Planning” itu bukan pekerjaan yang mudah. Harus terlebih dahulu kita mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang sistem hukum asing.2 Di sinilah letak perlunya Perbandingan Hukum (Comparative Law).
Dengan perbandingan hukum akan memperluas cakrawala berpikir serta memberi kesadaran kepada perencana/pelaksana pembangunan hukum itu bahwa bagi setiap masalah hukum terbuka lebih dari hanya satu cara untuk mengatasinya.
Apalagi dalam perkembangan kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Akibat kemajuan teknologi, jarak-jarak antar negara semakin rapat, hubungan komunikasi semakin cepat, maka setiap negara akan cenderung memperbandingkan dirinya dengan negara lain, dengan maksud untuk memelihara keseimbangan dan harmonisasi antar negara sehingga tujuan nasional masing-masing dapat tercapai.


B. Tujuan Penulisan             
            Perbandingan hukum (Rechtsvergelijking), khususnya perbandingan hukum pidana Indonesia dan Filipina pada dasarnya menunjukkan suatu rangkaian kegiatan membanding-bandingkan sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain; dengan perkataan lain membanding-bandingkan lembaga hukum (legal institution) dari suatu sistem (stelsel) hukum dengan lembaga hukum dari sistem hukum yang lain.
Dengan melakukan perbandingan itu, kita akan dapat menemukan unsur-unsur persamaan (similaritas) dan juga unsur-unsur yang berbeda (divergensi) dari kedua lembaga ataupun sistem hukum itu
Dari segi pendidikan hukum, memperbandingkan sistem hukum kedua negara, maka rechts vergelijking akan sangat bermanfaat untuk membuka cakrawala berpikir yang lebih luas bagi para mahasiswa sehingga tidak menjadi picik dan sempit. Dengan perbandingan hukum disadari bahwa ada cara-cara lain yang mungkin memecahkan persoalan yang dihadapi.
Di samping manfaat secara ilmiah di atas, perbandingan hukum antara sistem hukum Indonesia dengan Filipina juga bermanfaat secara praxis baik untuk jurisprudensi, legislasi, dan harmonisasi hubungan internasional. Selanjutnya mengenai manfaat perbandingan hukum khususnya hukum pidana penulis uraikan dalam bab tersendiri.

C. Identifikasi Masalah
            Dalam makalah ini, penulis mencoba merumuskan batasan masalah, agar masalah yang akan dibahas dapat terarah. Sehubungan dengan hal itu, terdapat beberapa masalah yang diidentifikasi sebagai berikut
1.      Perbedaan sistem hukum  pidana antara Indonesia yang menganut sistem hukum eropa kontinental dengan Filipina yang menganut sistem hukum anglo saxon dan karakteristiknya masing-masing.
2.      Peranan dan manfaat perbandingan hukum pidana kedua negara bagi pembaharuan hukum pidana nasional.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Perbedaan Sistem Hukum Pidana Antara Indonesia Dengan Filipina Dan              Karakteristiknya Masing-Masing.
Di dunia sebenarnya terdapat berbagai sistem hukum dengan karakteristiknya maupun dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam Ilmu Hukum Pidana dewasa ini lazim dikenal adanya 2 (dua) sistem hukum pidana yang paling menonjol dan mengemuka yang masing-masing mempunyai ciri-ciri khas ataupun karakteristik sendiri pula. Walaupun pada akhirnya kita dapat melihat suatu kecenderungan (tendency) bahwa ciri-ciri khas masing-masing sistem hukum pidana tersebut semakin tidak tegas lagi. Hal ini baik karena pertimbang-pertimbangan teknis maupun karena adanya kebutuhan hukum yang semakin kompleks. Dalam bab ini penulis mencoba megemukakan tentang dua sistem hukum pidana yang, yaitu sistem hukum pidana eropa kontinental yang dianut oleh Indonesia dan sistem hukum pidana anglo saxon yang dianut oleh Filipina.

1. Sistem Hukum Pidana Indonesia
Sistem hukum pidana Indonesia adalah sistem hukum pidana yang menganut sistem hukum pidana eropa kontinental, lazim dipergunakan di negara-negara Eropa daratan. Pada awalnya sistem hukum pidana Eropa Kontinental ini berasal dari hukum Romawi kuno yang selanjutnya diresepsi dalam kode Napoleon. Dari sinilah kemudian menyebatr ke berbagai daratan Eropa seperti Jerman, Belanda, Spanyol, dan lain sebagainya.
Ketika negara-negara Eropa Kontinental ini melakukan penjajahan ke berbagai bagian bumi baik di Asia, Afrika, dan lain-lain, selama berpuluh tahun bahkan beratus tahun, maka mereka turut menerapkan sistem hukum pidana seperti yang dipakai di negara asal mereka di negara-negara yang mereka jajah, yang pada umumnya sistem hukum pidana tersebut berlanjut sampai sekarang.
Ada beberapa ciri khas ataupun karakteristik dari sistem hukum pidana Indonesia yang menganut sistem hukum pidana eropa kontinental, antara lain dalam hal:
Pengkodifikasiannya
Kendatipun dalam perkembangannya sukar untuk menentukan sistem hukum pidana mana yang lebih terkodifikasi, namun pada umumnya dapat dikatakan bahwa sistem hukum pidana Eropa Kontinental adalah terkodifikasi, karena diundangkan sekaligus dalam satu kitab.
Hal ini menunjukkan bahwa sumber hukum pidana yang utama dalam negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya.
Berbagai ketentuan hukum pidana dalam rangka kodifikasi ini dimuat dan diatur dalam suatu Kitab Hukum Pidana yang dikenal dengan istilah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagai contoh dapat disebutkan adalah Hukum Pidana Belanda (yang semula berasal dari Code Penal Perancis) terdapat dalam satu kitab yang terdiri dari tiga buku. Hal yang sama juga terdapat di Indonesia yang memang diresepsi dari hukum pidana Belanda dahulu.
Dalam perkembangannya sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ternyata perundang-undangan Hukum Pidana atau perundang-undangan yang di dalamnya terdapat materi hukum pidana, semakin lama semakin banyak dan menumpuk juga. Di Indonesia misalnya dapat dikatakan bahwa materi hukum pidana di luar KUHP (hukum pidana khusus) justru lebih banyak dan terus bertambah, seperti:
  • Undang-undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • Undang-Undang No.9 Tahun 1976 tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika.
  • Undang-Undang No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
  • UU No.8 Darurat 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi dan diubah menjadi UU No.1 Tahun 1961.
Dengan telah tertulisnya semua ketentuan tentang hukum pidana, dapat dikatakan bahwa dalam sistem Eropa Continental yang dianut oleh Indonesia, lebih terjamin adanya kepastian hukum. Walaupun kepastian hukum yang terkandung dalam sistem ini adalah kepastian hukum yang bersifat formal yang dalam hal-hal tertentu selalu tertinggal oleh perkembangan peradaban dan kesadaran hukum masyarakat. Karena itulah di negara-negara Eropa Kontinental sudah semakin berkembang kepastian hukum yang bersifat materil.
Selanjutnya sistem hukum pidana Indonesia mempergunakan sistem peradilan yang berbeda dengan sistem hukum pidana Filipina. Di Indonesia dianut sistem di mana Hakim atau Majelis Hakim yang mengadili perkara pidana; dengan kata lain hakim atau majelis hakimlah yang menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa dan sekaligus menjatuhkan putusannya baik berupa pemidanaan ataupun pembebasan.

2. Sistem Hukum Pidana Filipina
Sistem hukum pidana Filipina adalah suatu sistem hukum pidana yang berasal dari negara-negara Anglo Saxon yaitu Amerika Serikat dan Inggris. Temasuk ke dalam sistem ini adalah negara-negara lain baik itu di Asia, Australia, Afrika, dan Amerika yang dalam sejarahnya pernah mengalami penjajahan dari negara-negara Anglo Saxon tersebut yang sampai saat ini masih menganut dan menerapkan sistem hukum pidana Anglo Saxon tersebut. Sebagaimana sistem Eropa Kontinental maka sistem hukum pidana Anglo Saxon mempunyai ciri-ciri yang khas pula.
Di negara-negara Anglo Saxon seperti Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara ex-dominionnya seperti Malaysia, Filipina, dan lain-lain sumber utama hukum pidananya bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah terkodifikasi tetapi adalah hukum umum (Common Law) baik berupa undang-undang (Statue act), Yurisprudensi maupun perundang-undangan lain (delegated Legislation).
Sumber-sumber ini berkembang terus dan bertambah tahun demi tahun, sehingga untuk memperlajarinya harus mengumpulkan terlebih dahulu berbagai yurisprudensi dan perundang-undangan yang bersangkutan. Usaha untuk mengkofikasikannya baru bagian demi bagian yang sudah tercapai, seperti:
  • Undang-undang tentang kejahatan terhadap orang (Offences against the person act);
  • Undang-Undang tentang Kejahatan Seksual (Sexual Act);
  • Undang-Undang tentang Pencurian (Theft Act), dan lain-lain.


Namun usaha untuk mengkofikasikan keseluruhannya dan mengunifikasikannya belum berhasil sepenuhnya. Oleh karena sumber hukum pidana yang utama adalah Common Law, kepastian hukum yang bersifat material yang dalam prakteknya senantiasa dapat mengikuti perkembangan kesadaran hukum dalam masyarakat.
Hal ini nampaknya sejalan dengan ajaran Paul Van Schalten tentang “Het Open Sistem vanm Het Recht” yang pada dasarnya mengakui kesadaran hukum yang berkembang baik di kalangan penegak hukum dan masyarakat.
Kepastian hukum yang bersifat material ini lebih dihargai lagi bila kita lihat dari sistem pelaksanaan peradilan di negara Filipina yaitu sistem Juri. Menurut sistem ini dalam suatu persidangan perkara pidana para Juri-lah yang menentukan apakah terdakwa atau tertuduh itu bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty) setelah pemeriksaan selesai. Jika Juri menentukan bersalah barulah Hakim (biasanya tunggal) berperan menentukan berat ringannya pidana atau jenis pidananya. Bila Juri menentukan tidak bersalah maka Hakim membebaskan terdakwa (tertuduh).

B. Peranan dan Manfaat Perbandingan Sistem Hukum Pidana Indonesia dan Filipina Bagi Pembaharuan Hukum Pidana Nasional

1. Manfaat Ilmiah dan Praktis
Apabila kita melakukan perbandingan hukum pidana pada umumnya dan perbandingan hukum pidana antara Indonesia yang menganut sistem eropa continental dengan Filipina yang menganut sistem hukum anglo saxon, maka hal itu adalah karena didorong adanya kebutuhan-kebutuhan akan manfaatnya bagi kita, di mana manfaat-manfaat tersebut secara garis besarnya dapat dibedakan dalam :

a. Manfaat perbandingan hukum pidana secara ilmiah.
Dengan membanding-bandingkan berbagai sistem hukum pidana dari berbagai negara maka pengetahuan kita tentang hukum dan pranata-pranatanya akan semakin dalam dan luas. Hal ini karena kita dapat melihat bahwa terhadap suatu problem atau kebuthan yang sama dapat dicapai suatupenyelesaian atau problem solving yang berbeda-beda.
Di samping itu dapat juga dilihat bahwa walaupun masyarakat dan kebudayaannya berbeda-beda tetapi dapat menyelesaikan persoalan yang sama dengan cara yang sama pula, sedang suatu masyarakat yang mempunyai budaya yang sama mungkin dapat menyelesaikan suatu persoalan dengan cara yang berbeda. Hal ini tentulah akan memperluas cakrawala ataupun wawasan berpikir kita sekaligus menghindarkan diri dari kepicikan dan mempunyai anggapan yang baik berupa anggapan bahwa hukum kitalah yang terbaik (chauvinistis) dan menilai orang baik tidak baik atau menganggapbahwa sistem kita tidak baik dibandingkan dengan sistem hukum negara lain (rasa rendah diri).
Selanjutnya dengan perbandingan hukum dapat ditingkatkan kualitas pendidikan hukum. Para sarjana hukum akan mempunyai legalr reasoning tentang suatu lembaga hukum yang ada, di samping itu juga degan perbandingan hukum ini akan menimbulkan banyak inspirasi atas berbagai hal yang sekaligus merupakan usaha dan sumbangan yang berharga bagi perkembangan ilmu hukum pidana yang nantinya dapat berguna dalam praktek.

b. Manfaat Perbandingan Hukum Pidana bagi Kegiatan Praktis
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hukum asing banyak memberi bantuan dalam memecahkan persoalan-persoalan ang akan digunakan untuk pengembangan hukum sendiri. Oleh karena iutu, perbandingan hukum sangat berguna bagi Pembuat Undang-Undang (Legislator) dalam badan legislatif.
Bagi para Hakim, studi Perbandingan Hukum akan banyak manfaatnya. Oleh karena dengan membandingkan aturan [erundang-undangan sendiri degan aturan perundang-undangan asing mengenai hal yang sama, para Hakim bisa mendapat pandangan yang lebih baik mengnai arti ari aturan itu sendiri. Perbandinganhukum dapat memberi pengetahuan yang lebih baik untuk mentafsirkan suatu aturan perundang-undangan yang selanjutnya dapat melahirkan yurisprudensi-yuriusprudensi baru yang bermutu dan up to date.
Dengan makin eratnya hubungan antara negara yang satu dengan negara yang lain (adanya interdependensi antar negara) maka akan timbul kebutuhan yang sangat akan adanya persesuaian (harmonisasi hukum pidana yang satu dengan yang lain). Pada mulanya ini akan berpengaruh sekali dalam bidang perdagangan dan politik, tetapi terjadi suatu tindak pidana yang menimbulkan adanya titik-taut dalam hukum pidana maa terasalah perlunya harmoniasi hukum pidana antar negara itu. Sebagai contohnya dapat disebutkan adalah masalah-masalah kejahatan yang dapat diekstradisi.

2. Pembentukan Hukum Pidana Nasional yang Bermutu dan Up to Date
Indonesia sampai sekarang mewarisi KUHP yang berasal dari masa penjajahan Belanda, walaupun memang di sana-sini banyak yang sudah ditambah, diubah, dan diganti. Namun bagaimanapun juga, KUHP tersebut dahulu disusun sesuai dengan ideologi penjajah dan sudah pasti sebagian ketentuannya telah ketinggalan zaman (out to date). Oleh karena itulah kita sambut baik usaha pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehakiman, yang sedang berusaha mempersiapkan Rancangan KUH Pidana Nasional yang baru, yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini dan saat yang akan datang.
Dalam usaha untuk membentuk KUHP Nasional yang baru dan bermutu itulah kita suka atau tidak suka membutuhkan pengetahuan tentang berbagai sistem hukum pidana asing maupun juga dalam konteks ini Hukum Pidana Adat. Hal ini dikarenakan kita dapat mengambil bahan-bahan yang berguna bagi kita di Indonesia. Apalagi hukum pidana suatu negara modern harus mencerminkan “several world view”. Termasuk juga, sebagaimana disebutkan di atas, mempelajari hukum pidana adat Indonesia oleh karena KUHP yang baru nanti sudah tentu harus mencerminkan keperibadian Indonesia.
Dengan demikian para perencana undang-undang dan pembuat undang-undang pidana baik DPR maupun pihak pemerintahan dapat menarik manfaat dari studi perbandingan hukum pidana.
Ada beberapa ketentuan dalam KUHP Indonesia sekarang yang harus didekriminalisasi dan ada pula hal-hal yang terjadi dalam masyarakat yang perlu didekriminalisasi dengan segera untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Masalah yang berhubungan dengan Keluarga Berencana, penjualan alat-alat untuk menegah kehamilan yang dilarang dalam KUHP perlu ditinjau kembali. Selanjutnya hal-hal seperti kejahatan yang dilakukan oleh korporasio atau badan hukum, kejahgatan dalam kegiatan bursa saham perlu mendapat perhatian pula untuk dimasukkan ke dalam ketentuan undang-undang pidana.
KUHP Nasional yang baru harus mempunyai jangkauan puluhan tahun ke depan agar tidak berubah-ubah tiap sebentar. Untuk itulah hukum pidana negara lain yang telah puluhan tahun lebih maju kehidupannya perlu dipelajari.
Selanjutnya, studi perbandingan hukum pidana adalah untuk memenuhi perintah Pasal 32 UUD 1945 dan penjelasannya yang berbunyi: Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Penjelasan Pasal 32 UUD 1945: Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia. Kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Sebagai contoh oleh Prof. Oemar Seno Adji, S.H. dikemukakan bahwa dalam rancangan KUHP yang baru di buku I dicantumkan adanya suatu sanksi adat pidana sebagai memenuhi kewajiban adat dan pembayaran ganti kerugian khususnya kepada korban pelanggaran.
Dalam peraturan-peraturan modern mengenai kompensasi ataupun restitusi kepada “victim” tersebut ketentuan adat dapat berkembang ke dalamnya. Dalam hal ganti rugi kepada victim ini kita dapat mengambil pengalaman dari penerapan Bab V KUHP Philipina tentang Pertanggungjawaban Perdata yang antara lain menyatakan: “Bahwa setiap orang yang dipertanggungjawabkan pidana karena suatu kejahatan juga dipertanggungjawabkan karena kejahatan tersebut.”
Dengan demikian dapatlah kita melihat bahwa perbandingan hukum pidana sangat perlu terutama dalam menyusun KUHP Nasional yang baru, bermutu, dan up to date, serta dapat mengantisipasi permasalahan-permasalahan hukum yang timbul di masa sekarang dan di masa depan.



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Setelah melalui pembahasan pada bab-bab terdahulu maka penulis sampai kepada suatu kesimpulan yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
1. Perbandingan hukum (rechtvergelijking) adalah suatu kegiatan membanding-bandingkan sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain ataupun membanding-bandingkan lembaga hukum (legal institution) dari suatu sistem hukum dengan lembaga hukum dari sistem hukum yang lain. Perbandingan hukum itu dapat dilakukan antara:
  • hukum tertentu pada masa lampau dengan hukum yang sama dengan hukum yang sedang berlaku pada masa sekarang;
  • hukum yang sifatnya deskriptive dengan yang bersifat applied (praxis);
  • hukum publik dengan hukum privat;
  • hukum tertulis dengan hukum yang tidak tertulis (hukum adat), dan lain sebagainya.
2.  Perbandingan hukum pidana (Comparative Criminal Law) mempunyai banyak manfaat baik secara ilmiah untuk meningkatkan kualitas pendidikan hukum dan pengembangan ilmu hukum pidana maupun secara praktis dalam bidang legislatif, judikatif (untuk pengembangan yurisprudensi) serta untuk meningkatkan hubungan internasional dengan danya harmoninasi hukum antar negara.
3.  Studi Perbandingan Hukum pada hakekatnya adalah merupakan pelaksanaan dari Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasanya yaitu untuk memajukan kebudayaan nasional.
4.  Perbandingan hukum pidana sangat dibutuhkan dalam rangka penyusunan KUHP Nasional yang baru dan bermutu, yaitu dengan menggali puncak-punak kebudayaan daerah berupa hukum pidana adat yang mempunyai nilai tinggi dan universal dan dengan memilih dan mengambil unsur-unsur hukum pidana negara lain yang lebih maju dan berguna.

B. Saran-Saran
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas penulis mencoba memberikan beberapa saran yang kiranya dapat berguna, sebagai berikut:
1.      Diharapkan agar kitanya lembaga-lembaga pendidikan khususnya fakultas-fakultas hukum menjadikan mata kuliah perbandingan hukum pidana (Comparative Criminal Law) sebagai mata kuliah wajib dan termasuk dalam kurikulum minimal di Fakultas \fakultas hukum tersebut.
2.      Studi perbandingan hukum sebaiknya tidak hanya mempelahjari hukum pidana negara-negara lain tetapi juga mempelajari hukum pidana adat Indonesia yang cukup beraneka-ragam.
3.      Pengambilan nilai-nilai budyaa asing dalam bidang hukum hendaklah dilakukan secara selektif dan tidak mengorbankan nilai-nilai kepribadian bangsa.
4.      Sebaiknya dapat dintensifkan kegiatan-kegiatan seperti up grading, lokakarya, dan lain-lain tentang perbandingan hukum (pidana) bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti para hakim, jaksa, anggota DPR maupun para Staf Pengajar di Perguruan-Perguruan Tinggi khususnya di Jurusan Hukum Pidana Fakultas-Fakultas Hukum. 

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. Dr., S.H. 1987. KUHP Republik Phlipina sebagai Perbandingan, Ghalia Indonesia, Jakarta
Hamzah, Andi. Dr. SH. 1987. KUHP Republik Korea Sebagai Perbandingan, Galia Indonesia, Jakarta
Hartono, Sunaryati. DR., S.H., 1992. Capita Selecta Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung
Sianturi, R. 1983. Hukum Pidana Perbandingan, Penerbit Alumni AHM PT HM, Jakarta.
Seno Adji, Oemar, Prof. SH, 1998. Komentar Atas Seri Terjemahan KUHP Negara-Negara Asing, Ghalia Indonesia
Whitecross, Paton George, 1985. A Teks Book of Jurisprudentie, terjemahan G. Soedarsono, BA, dkk., Penerbit : Yayasan GP Gadjah Mada, Jogyakarta

Memburu Teroris yang sebenarnya



Sebelum memasuki substansi dari tulisan ini mungkin sebaiknya kita menyamakan persepsi terlebih dahulu walau mungkin tidak tercapapai kata sepakat, makna dan arti kata Teror atau teroris yang belakangan ini kian akrab di telinga kita akibat adanya trial by press yang terjadi begitu dansyat menggiring opini kita kedalam suatu zona mindset yang cukup menbuat pikiran kita bertanya Tanya. Secara terminologi makna dari kata Teror itu berarti : keganasan, kekalutan yang disebabkan oleh beberapa orang golongan yang melakukan tindakan tindakan biadab sedang Teroris itu berarti orang atau pelaksana tindakan tindakan biadab tersebut, setelah kita menyamakan persepsi maka akan muncul suatu pertanyaan mendasar siapakah yang dimadsud teroris tersebut, penulis tertarik membahas tema dan bahasan mengenai teroris karna penulis anggap sebagai isu yang sangat getol dibicarakan belakangan ini, yang selama ini public ketahui mengenai siapa teroris itu tanpa perlu suatu interpretasi dan pikir-pikir panjang maka akan muncul suatu jawaban yang aklamasi yaitu teroris itu adalah AL-Qaydah, Jamaah Islamiyah, Gerakan Pembebasan Moro, Gerakan Pembebasan Mindanao maupun Gerakan di Thailand selatan, dan bahkan ada juga yang menggolongkan teroris itu Hamas, PLO, Hizbullah dan bahkan kita sendiri mungkin, setelah dibenak kita terjadi penggolongan kelompok kelompok tertentu maka akan muncul nama nama yang mungkin cukup familiar ditelinga kita seperti Osama Bin Laden, Abu sayaf, Doktor azahari Bin Husein, Noordiin M.Top, Dulmatin, Umar Patek dkk. Hal ini dikarenakan kita cukup sekian lama di doktrim oleh media TV tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mencrosscek dan mencari kebenaran tentang apa yang dituduhkan terhadap orang orang maupun kelompok diatas, memang sebagian besar nama nama yang telah penulis ungkapkan tersebut diatas telah mengakui secara lisan dan visual mengenai tindakan tindakan yang dituduhkan terhadap mereka tapi apakah itu cukup pantas untuk menjudgemen tanpa adanya suatu fakta yang valid dan dapat diterima secara empiris sehingga dapat memuaskan akal pikiran kita bukankah tindakan kita ini sudah tergolong dalam “Testimonium de auditu” yaitu kesaksian/keterangan yang diberikan oleh seseorang berdasarkan keterangan bahan yang didengarnya/diketahuinya dari orang lain dan bukan pengalamannya sendiri. Apakah itu yang kita pikirkan, jika itu yang kita pikirkan maka akan terjadi apa yang disebut Trial by Public Opinion (Peradilan oleh opini masyarakat) akan sangat dimungkinkan terjadi. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang beragama kita selayaknya menhindari sikap sikap fitnah yang dapat menjerumuskan kita. Maka dari itu masyarakat harus berpandangan jernih tanpa kontaminasi dan reduksi alam pikiran sehat kita sehingga kita manpu menilai siapa teroris dan penjahat yang sebenarnya yang menjadi momok dalam kehidupan berbangsa kita.
Dewasa kita makin digemparkan dengan isu-isu teror yang cukup membuat kita jadi was-was mulai dari kamp pelatihan di aceh hingga cel-cel yang disinyalir peninggalan alm Noordiin M.Top yang terdiri dari cel-cel kecil yang cukup mobil dalam melakukan aksi-aksi terornya(diduga) hingga kelompok kelompok baru yang mungkin memanfaatkan kekalutan keadaan keamanan Negara . selama ini Polri telah melakukan dan menjalankan perannya sebagai pengayom masyarakat dan pelindung masyarakat dengan menindak tegas para pengganggu keamanan Negara tapi apakah ini cukup untuk menhadapi dan menbasmi teroris bukankah dengan aksi refresif polri akan menimbilkan anti klimaks yang malah akan menumbuhkan gerakan gerakan terror yang baru, menurut penulis langkah refresif memang menberi shochterapi bagi para pelaku aksi teror namun ini tidak serta merta menhilangkan aksi dan penyemaian idiologi teror tersebut hal yang menjadi masalah adalah sejauh mana langkah polri tersebut cukup efektifkah untuk mengurangi gerakan gerakan yang bersifat teror tersebut atau malah resistensi bagi kelompok yang diduga teroris tersebut. Penulis juga sungguh sedih dengan penilaian masyarakat dunia ketika mereka berbicara teroris maka akan mengarah kesuatu arah pembicaraan yang cukup menbuat hati ini perih yaitu paradigma berfikir masyarakat dunia yang langsung secara aklamasi menyebut suata agama yaitu agama islam, pada hakikatnya islam tidak menbenarkan aksi aksi teror semacam itu hanya saja ada beberapa orang yang beridentitas sebagai seorang muslim yang melakukan aksi teror maka terjadilah proses stigmatisasi yang mengeneralisir suatu perbuatan terhadap suatu agama tertentu tapi dalam tulisan ini penulis menyatakan mereka sama sekali tidak mewakili agama islam tapi mereka hanya kebetulan beridentitas seorang muslim tidak serta merta menjadikan agama islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan bukankah apa yang kita sebut sebagai gerakan teroris belakangan ini merupakan reaksi dari suatu aksi pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan oleh penjajah barat.
Menburu teroris yang sebenarnya adalah judul dari tulisan ini setelah kita menbaca arti dan makna kata terror tersebut kemudian muncul dua arah terror dalam bentuk fisik atau psykis(alam pikiran), kita sering kali terpaku dalam ruang bahwa terror hanya terbatas aksi fisik itu yang kebanyakan orang yang penulis jumpai dalam kesehariannya tapi yang lebih berat lagi yaitu terror dalam bentuk pikiran yang efeknya bisa menbuat kita kadang kehilangan akal sehat. Suatu retorika berpikir yang komplek akan menbangun suatu dasar yang akan menbawa kita kedalam kedewasaan berpikir yang sebenarnya makna yang terungkap diatas bahwa Teror itu berarti : keganasan, kekalutan yang disebabkan oleh beberapa orang golongan yang melakukan tindakan tindakan biadab sedang Teroris itu berarti orang atau pelaksana tindakan tindakan biadab tersebut. Siapakah yang menbuat kekalutan, siapakah yang melakukan tindakan biadab jika kita mencoba terbuka dan memandang apakah ekspansi militer yang dilakukan pasukan Sekutu di Irak, Afganistan, Palestina itu tidak tergolong melakukan tindakan biadab karna berdasarkan CAT (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), “Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat”, 10 Desember 1984, jelas bahwa ekspansi pasukan koalisi tergolong lebih kejam dan melanggar hak asasi manusia jika kita merujuk akan terminology terror diatas.

Ditulis di Semarang Jawa Tengah November 2008, awal dimana saya belajar menulis "sengaja tidak saya edit" untuk mengenang awal dari hobby saya menulis waktu itu, hasil edir berjumlah 25 halaman setelah saya kaji ulang dan melakukan pendalaman materi. hasilnya akan saya Publis di Buku saya yang akan datang. ttd : ulhaq andyaksa.