Kamis, 20 Januari 2011

OUTSOURCING DALAM MASALAH KETENAGAKERJAAN (catatan ulhaq andyaksa)

Ditengah era ekonomi yang semakin mendesak negara negara berkembang untuk menaktualkan sistem dan mekanisme perburuan menjadikan seluruh negara di dunia mencari suatu sistem perburuan yang lebih menekankan dan memberi keuntungan bagi perusahaan atau korporasi. Globalisasi memperluas pergerakan modal dan memberi tempat yang makin penting bagi korporasi besar dunia, fenomena ini terjadi pula di indonesia dimana  sebuah pergeseran yang menandai makin kuatnya ekspansi kapitalis global terhadap posisi dan eksistensi buruh secara nasional. Ekspansi besar-besaran perusahaan multi nasional disertai juga dengan tuntutan mekanisme kerja baru yang memperkenalkan sistem hubungan kerja yang fleksibel dalam bentuk outsourcing dan kerja kontrak. Semua mekanisme kerja dimaksudkan untuk meraih keuntungan yang lebih besar dengan mengurangi tanggung jawab pemilik modal atau pengusaha terhadap masa depan pekerjaannya. Kata kunci yang selalu mereka ungkapkan yaitu efisiensi yang hampir identik dengan kue keuntungan yang makin besar yang  semakin hari makin mendistorsi hak-hak buruh untuk menuntut upah dan tunjangan yang lebih layak bagi mereka. Jika kita melihat kebelakan pada era Demokrasi terpimpin dan era orde baru dimana hak dan kesaejahraan buruh yang masih samar kurangnya organisasi serikat pekerja menjadikan posisi buruh pada masa itu menjadi serbagai pekerja lepas yang tidak dilindungi oleh undang-undang, tindakan semena-mena pengusaha dan pemerintahan yang diktator semakin menperburuk nasib buruh pada masa itu. Indonesia pasca reformasi setelah tumbangnya rezim diktator, terbukanya alam kebebasan memberikan efek positif bagi setiap warga negara untuk berserikat dalam organisasi-organisasi masyarakat. Begitu juga kelompok buruh semakin tergorganisir dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Walaupun demikian belumlah selesai masalah perburuhan dinegeri ini.
Sebelum penulis melanjutkan tulisan ini lebih dalam, maka penulis terlebih dahulu menguraikan arti dan makna Outsourcing merupakan bentuk nyata dari prinsip fleksibelitas pasar kerja dan dapat ditemukan dihampir seluruh bagian dalam rangkaian proses produksi (Rekson Silaban, 2009 : 71). Selain itu outsoursingjuga didefinisikan sebagai pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakaian jasaoutsourcing baik pribadi, perusahaan divisi atau pun sebuah unit dalam perusahaan (Komang Priamda, 2008 : 12). Dalam artian tersebut penulis dapat menarik suatu benang merah bahwa outsourcing merupakan suatu bentuk penjajahan hak-hak pekerja oleh pemegang kapital (korporasi) besar dalam meneksploitasi tenaga manusia secara besar-besaran dalam suatu praktek perburuan yang melanggar hak asasi manusia, ini sama saja dengan memutar mundur waktu seperti apa yang terjadi pada periode VOC dimana terjadi praktek-praktek yang sama dengan apa yang terjadi dewasa ini, hal ini mungkin menjadi elegi dan suatu yang memalukan bagi bangsa ini mungkin pada masa VOC dapat kita pahami secara bersama bahwa pada masa itu bangsa kita tidak memiliki posisi tawar karena pada saat itu kita sebagai bangsa terjajah yang patut diperlakukan secara tidak wajar, dan hal yang terjadi dan lebih memalukan itu terulang disaat negara ini sudah merdeka selama 65 tahun hak-hak pekerja kembali dikebiri dengan lahirnya Undang-Undang 13 Tahun 2003. Dimana pada Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 adalah landasan hukum bagi perusahaan outsourcing dan pengusaha berkonspirasi mempraktekkan outsourcing. Bunyinya sebagai berikut :“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis”. Berdasarkan pasal inilah pemerintah telah mengakui pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang dahulu kala merupakan salah satu bentuk penjajahan koloni asing atas Indonesia di perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia. Dalam persfektif buruh, outsorcing menjadi sebuah batu penghalang bagi peningkatan kelayakan hidup bagi mereka. Upah yang murah, tidak adanya jaminan sosial dan lain sebagainya adalah indikasi dari pengingkaran kapitalisme terhadap hak-hak buruh yang mencederai human rigth.
Hubungan industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak mempunyai kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh bagaimana mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu yang habis dalam kontrak kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat pada pemberhantian secara langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing. Dan digantikan oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai pekerja-pekerja cadangan. Kondisi ini membebaskan industri-industri pengguna dari kewajiban-kewajiban terhadap buruh kecuali hanya memberikan upah dari kerja buruh. Keberadaan buruh berstatus outsorcing pada gilirannya akan melemahkan perjuangan kolektif buruh melalui serikat buruh, sebagai elemen pemaksa bagi terpenuhinya hak-hak buruh. Sebab, buruh outsourcing bergerak sebagai individu yang mengadakan hubungan kerja dengan perusahaan secara langsung, atau buruh yang disalurkan oleh lembaga outsourcing (jasa penyalur tenaga kerja), kepada perusahaan, para pihak yang terlibat dalam perjanjian dalam hal ini adalah jasa penyalur tenaga kerja dan perusahaan, sementara buruh outsorcing sendiri berada di bawah kendali jasa penyalur.
Berdasarkan paparan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa sistem kerja outsourcing menempatkan buruh dalam suatu keadaan yang tidak memiliki posisi tawar dan perlindungan dari negara yang seharusnya melindungi hak-hak buruh dalam hal penjaminan kepastian posisi dalam suatu pekerjaannya, negara tidak seharusnya mengikuti mekanisme pasar Global yang menuntut negara berkembang mengikuti prosedur dan tata cara yang dikehendaki investor sebagai mana yang terjadi dibanyak negara berkembang termasuk indonesia perusahaan asing menyodorkan suatu draf undang-undang kepada legislatif yang banyak menguntungkan pihak investor sedangkan disini yang menjadi korban dari suatu konspirasi politik dan pengusaha adalah para buruh. Hilangnya hak menuntut menjadikan para buruh hanya menjadi faktor produksi yang tidak menjadi suatu bagian yang penting dalam perusahaan, sewaktu-waktu pengusaha dapat merumahkan buruh outsourcing dan mengganti dengan buruh yang lain. Sistem outsourcing telah melegalkan perbudakan buruh, eksploitasi secara besar-besaran, pengurasan keringat dan tenaga buruh demi akumulasi modal yang sebesar-besarnya. Dan pada dasarnya sistem kerja outsourcing tidak lebih dari praktek perdagangan manusia di era modern kita seharusnya kembali ke mindset bangsa kita akan arti kemanusiaan secara utuh tidak dicampuri kepentingan ekonomi maupun politis yang dapat merusak sensitifitas kita dalam memandang suatu perkara.