Rabu, 15 Desember 2010

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENEGAKANNYA (Catatan Singkat Ulhaq Andyaksa)

korupsi merupakan masalah kronis yang sangat menyeramkan dan mempunyai efek merusak yang sistemik, namun secara umum kita sendiri kadang tidak menyadari tindakan-tindakan korups yang secara sadar maupun tidak sadar terjadi disekeliling kita atau bahkan kita sendiri pernah melakukan tindakan korupsi. Efek bola salju yang ditimbulkan atas terjadinya tindak pidana korupsi seperti yang kita rasakan sangat berimbas kepada masyarakat banyak bahkan efek dari suatu tindak pidana korupsi berlangsung dalam rentang waktu yang sangat lama hal ini terbukti ketika era orde baru dimana kultur pada era itu sangat kental akan tindakan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang seakan-akan hal tersebut merupakan pakem yang wajib bagi setiap pejabat Negara pada saat itu hingga melahirkan rezim dimana pada setiap proses, mekanisme, tahapan apapun itu syarat akan tindakan-tindakan koruptif yang didukung oleh segenap kabinet dan aparat pada waktu itu, dalam arti luas korupsi berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan peribadi sedangkan jabatan adalah kedudukan kepercayaan seorang diberi wewenang atau kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga, lembaga itu bisa lembaga swasta pemerintah maupun nirlaba sehingga melahirkan variasi-variasi pelaksanaan tindak pidana korupsi yang semakin modern  yang semakin menyulitkan aparat penegak hukum untuk mengendus perilaku korupsi yang sedang berlangsung terjadinya perubahan kebijaksanaan yang sedang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang sudah sakit sehingga yang tercipta bukan mengurangi tindakan koruptif tetapi malah menimbulkan persekonkolan (konspirasi), pertukaran konsesi politik dan standar operasional yang bertujuan memangkas tindakan koruptif malah diperlakukan semau-maunya oleh pihak-pihak yang ditugaskan memutus rantai korupsi. Sebelum berbicara lebih lanjut penulis ingin mengungkapkan apa makna korupsi itu sendiri dari beberapa referensi yang penulis baca :
dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “Korupsi” (dalam bahasa latin corruption =penyuapan; coruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalah gunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan pemalsuan serta ketidak beresan lainnya. Adapun arti harfiah korupsi dapat berupa[1] :
  1. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran (S. Wojowasito-W.J.S Poerwadarminta, Kamus lengkap inggris-indonesia, indonesia-inggris, Penerbit Hasta, Bandung)
  2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, permintaan uang sogok, dan sebagainya (W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit: Balai Pustaka, 1976),
“Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja, korupsi bias mencakup kegiatan yang sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi dalam tubuh organisasi (misalnya penggelapan uang) dan diluar organisasi (misalnya pemerasan).[2]
Berdasarkan pelbagai pengertian singkat diatas kita hampir dapat menarik suatu benang merah kesamaan bahwa pengertian korupsi dipelbagai literatur hampir menemui arti yang sama, jelas bahwa korupsi baik itu terjadi dinegara maju maupun dinegara berkembang merupakan suatu tindak pidana yang dipandang serius oleh setiap Negara beradap. Menurut Sutherland Korupsi adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan social yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaanya[3]. Penulis sendiri separuh setuju akan pendapat Sutherland tersebut ada benarnya dan ada pula aspek kelemahannya disalah satunya mungkin era dan masa sudah berubah dan semakin kompleksnya suatu tindak pidana sehingga tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kedudukan dalam suatu badan. Tampaknya pandangan Sutherland tersebut memandang pada masanya yang cenderung pelaku Tindak Pidana Korupsi hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, berdasarkan pengertian dan penjabaran tersebut mungkin kita harus berfikir lebih atas upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan semata-mata pendekatan yang bersifat hukum semata yang mengedepankan sanksi pidana berupa: Pidana Mati (pasal 2 ayat 2 UU.No,31 Tahun 1999), Pidana Penjara (pasal 2 ayat 1, pasal 3, pasal5, pasal 7,8,9,10,11,12, pasal 21,22,23,24 UU No.31 tahun 1999), Pidana Tambahan, Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya, terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh dan atas nama suatu Korporasi (pasal 20 ayat 1-6 UU No.31 Tahun 1999). Mandulnya upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku Tipikor sebelum adanya KPK mungkin dapat kita jadikan sebagai bahan Komparasi dalam tatanan hukum kita karena pada dasarnya dalam menanggulangi tindak pidana perlu dilakukan dua langkah pasti yaitu dengan jalan Penal (kebijakan Formulatif, Kebijakan Aplikatif, Kebijakan Eksekutif) dan Non Penal (Pendidikan Anti Korupsi)[4], maka dari itu Kebijakan Penal perlu dipertegas dan diperjelas mengenai langkah Aplikatif sebagai upaya pencegahan seperti yang terjadi dinegara China para Koruptor ditembak mati, sementara di Malaysia orang yang melakukan TP.Korupsi dihukum dengan berat. Berkaca dari pada itu sebenarnya indonesia memiliki aturan yang hampir sama dengan rumusan hukuman mati bagi koruptor di China namun langkah penerapannya belum juga menemui titik terang, sebagai mana dalam Pasal 2 ayat 2 UU No.31 Tahun 1999 seorang dapat dipidana mati atas tindak pidana korupsi yang dilakukan terjadi pemberatan apabila pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebuah pengulangan Tindak Pidana Korupsi dan Negara dalam keadaan Krisis Ekonomi. Yang menjadi pertanyaan penulis disini adalah apakah para penegak hukum di negeri ini belum bias menindak koruptor dengan tegas apakah mereka belum bias memaknai arti dan esensi pasal 2 ayat 2 tersebut yang secara jelas menyebutkan pidana mati bagi koruptor, mungkin pera penegak hukum masih memandang Negara belum dalam krisis ekonomi, betapa lucunya lagi bahwa sanksi pidana yang diberikan kepada koruptor selama ini tergolong lemah dan tidak memberikan efek jera dari system pemidanaan yang cenderung ringan. Bahkan belakangan ini para koruptor lebih banyak mendapatkan remisi atau bahkan grasi dari presiden sungguh ironi dan badai dalam penegakan hukum pidana kita. Karena korupsi adalah kejahatan kalkulasi ekonomi, jika probabilitas tertangkap kecil, hukuman ringan dan hasil yang diperoleh besar dibandingkan dengan insentif yang diperoleh maka sangat besar kemungkinan tumbuh subur korupsi diberbagai bidan, bila kita ingin melakukan pencegahan, maka kita harus berani melakukan perubahan dengan menperberat hukuman pidananya, meningkatkan probilitas tertangkap, dan mengaitkan gaji dengan hasil kerja (remunerasi), kita harus meminimalisir monopoli dan meningkatkan akuntabilitas, memberdayakan diagnose partisipatoir masyarakat dalam pengaduan dan pencegahan tindak pidana korupsi.
Menyiapkan serangan dalam strategi mencegah korupsi kita sebanarnya harus belajar banyak dari Negara Hong kong dalam kesuksesan mereka membasmi Korupsi, walau sekarang di Indonesia kita memiliki lembaga Super Body sekalas KPK tapi selama ini pemberantasan korupsi kurang manjur untuk mengobati penyakit bawaan yang sudah menjalar kemana-mana. Memerangi korupsi jangan dianggap tujuan akhir tapi lebih dari itu memerangi korupsi adalah suatu prinsip orientasi untuk membenahi administrasi pemerintahan yang lebih baik.
Pada tahun 1970an kepolisian Hong Kong terlibat sedalam-dalammnya dalam jaringan obat bius, judi dan pelacuran jaringan-jaringan ini member uang kepada polisi agar polisi tidak mengusik mereka. Departemen kepolisian membentuk sindikat sendiri untuk mengurus pemasukan dari jaringan-jaringan itu Misalnya, dibagian barat Kowloon, satu sindikat menarik pungutan dari tempat menisap candu dan penjual candu melalui perantara, uang yang terkumpul kemudian dierahkan kepada perwira menengah. Perwira tinggi mendapat bagian secara teratur untuk menutup mulut mereka, sindikat ini memiliki suatu cara yang rumit untuk membagi dan mengelola penerimaan illegal itu. Korupsi mewabah dalam system penerimaan calon polisi berdasarkan kecakapan, dan kantor anti korupsi milik departemen polisi itu sendiri juga melakukan korupsi.[5]
Waktu berjalan dan sindikat korupsi di Hong Kong terus menggurita di kepolisian Negara Hong Kong, muncul ide member kewenangan memeriksa rekening bank pegawai pemerintah, gaya hidup dan kekayaan pejabat, melakukan pemecatan terhadap pejabat tersebut apabila punya kekayaan yang tidak jelas sumbernya bila langkah ini berhasil maka tahapan selanjutnya mengalihkan tanggungjawab pembuktian (pembuktian terbalik), namun meski sudah dilakukan semua ini korupsi tetap saja terus berjalan. Untunglah Gubernur hongkong yang baru Murray MacLehose, dia menjalankan suatu strategi baru yang berani dia menbentuk suatu komisi independen melawan korupsi (ICAC – Independent Commision against Corruption) yang langsung melapor kepadanya dan menbubarkan kantor anti korupsi kepolisian. ICAC memiliki kekuasaan yang besar yaitu wewenang menyelidiki meski demikian badan ini lebih menekankan pencegahan dan partisipasi warga. [6]
Singkat cerita langkah yang di tempuh oleh Murray MacLehose tersebut sangat efektif karena langkah menbentuk ICAC ini merupakan tonggak awal pemberantasan korupsi dengan memulainya dengan Reformasi Kultural dalam badan penegak hukum itu sendiri, disini rupanya Murray MacLehose sadar betul jika hendak menyapu pelaku Tipikor seyogianya sapunya harus bersih dari kotoran agar kotoran yang akan disapu dapat bersih. Langkah yang luar biasa yang ditempuh oleh Murray MacLehose ini seharusnya menjadi kaca bagi indonesia yang sedang giat-giatnya memberantas korupsi, dengan melakukan reformasi substansial, Struktural dan cultural seperti yang dilakukan Murray MacLehose di Hong Kong dulu dapat kita terapkan dengan penuh rasa optimis dan totalitas Tindak Pidana korupsi seharusnya dapat kita hilangkan bukan sebagai angan-angan atau mimpi disiang bolong semata.
Lebih kurangnya penulisan dalam artikel tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia adalah kelemahan penulis yang menulis artikel ini ditengah malam menuju detik-detik peringatan hari Anti Korupsi. Semoga bermanfaat.

[1] Eva Hartanti,S.H, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hal.8


[2] Lihat John McLaren, “Supplier Relation And The Market Context: A Theory of Handshakes” (New Heven: Economic Growth Center, Yale University, 1996) dan Rujukan di dalamnya.


[3] Setiyono, Kejahatan Korporasi, Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing, Malang 2005, Hal.20


[4] Ali Masyhar,S.H,M.H, Sari Kuliah Politik Hukum Pidana


[5] Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa & H.Lindsey Parris, Corrup Cities. A Practical Guide to Cure and Prevention, Studies Oakland, California 2000


[6] Ibid. Hal 20-23


Referensi:
-Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintah Daerah, Teten Masduki
-Nasionalisme Baru Tanpa korupsi, KP2KKN Jawa tengah
-Tindak Pidana Korupsi, Evi hartanti,S.H
-Sebilu Kekuasaan dan Ruang-Ruang Bisu, Makassar Intelektual Law
-Hukum Pembuktian Pencucian Uang (money loundering), Drs. Tb. Irman S,S.H.,M.H


Di Tulis Di Semarang Tanggal 8 Desember Pukul 00:12 Tahun 2010 oleh ULHAQ ANDYAKSA.

Catatan Hukum Tentang Kode Etik Notaris di Indonesia (ulhaq andyaksa)

KODE ETIK NOTARIS
 Notaris adalah sebuah profesi yang dapat dilacak balik ke abad ke 2-3 pada masa roma kuno, dimana mereka dikenal sebagai scribae, tabellius atau notarius. Pada masa itu, mereka adalah golongan orang yang mencatat pidato.
Istilah notaris diambil dari nama pengabdinya, notarius, yang kemudian menjadi istilah/titel bagi golongan orang penulis cepat atau stenografer. Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia.
Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif ataupun yudikatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral, sehingga apabila ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka notaris tidak lagi dapat dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, notaris diharapkan untuk memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang dilakukan notaris atas permintaan kliennya. Dalan hal melakukan tindakan hukum untuk kliennya, notaris juga tidak boleh memihak kliennya, karena tugas notaris ialah untuk mencegah terjadinya masalah. 

Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik.[1]
Berkaitan dengan Etika maka akan menyangkut etika seorang yang bekerja disuatu profesi hokum tertentu seperti notaries dimana dalam profesi notaries tentunya menpunyai nilai-nilai dan etika dalam menjalankan kegiatannya dan melaksanakan tugasnya sebagai mana yang diatur dan ditentukan dalam etika profesi notaries.
Lembaga notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul karena adanya kebutuhan dalam pergaulan, yang menkehendaki adanya alat bukti bagi mereka dalam hubungan hokum. Lembaga notaris ini merupakan suatu lembaga yang berada diseluruh dunia. Tiap Negara memiliki cirri-ciri lembaga Notariat yang mereka tuliskan masing-masing dalam Atlas Du Notariat (Le Notariat le Monde)
Meskipun lembaga Notaris terdapat dipelbagai Negara, tetapi ada perbedaan antara lembaga notaries yang satu dengan yang lainnya, karena lembaga Notariat dari kelompok yang menganut Civil Law system akan berbeda dengan kelompok yang mengikuti Common law system. Juga dengan kelompok Negara komunis dengan kelompok Negara-negara asia dan afrika. Kelompok yang menikuti Civil law system adalah Negara-negara seperti Belanda, Belgia, Luxsemburg, Jerman, Austria, Swiss, Skandinavia, Itali, Yunani, Spanyol, dan juga Negara-negara bekas jajahan mereka.
Kelompok yang menganut Common law system adalah Inggris, Amerika Serikat, Canada, Australia Dan Afrika Selatan.
Menurut Izenis, bentuk lembaga Notariat ini dapat dibagi dalam dua kelompok utama, yaitu :
1.      Notariat Functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah didelegasikan (gedelegeerd) dan demikian diduga menpunyai kebenaran yang isinya menpunyai kekuatan bukti formal dan menpunyai daya atau kekuatan eksekusi. Di Negara yang menganut macam Notariat Functionnel ini terdapat pemisahan keras antara wettelejke dan niet wetteleijke werzaamheden, yaitu pekerjaan yang berdasarka undang-undang atau hokum yang tidak atau bukan, dalam notariat; dan
2.      Notariat Professionnel, dalam kelompok ini, walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta notaries itu tidak menpunyai akibat-akibat khusus tentang kebenaran, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya. Teori Izenik ini didasarkan pada pemikiran bahwa natariat itu merupakan bagian dari era sekali hubungan dengan kekuasaan kehakiman/pengadilan (rechttelijke macht), sebagai mana terdapat di Prancis dan Negari belanda (Komar-Andasasmita, 1981:21).
Lembaga Notariat di Negara-Negara yang menganut Common law system, seperti belanda dan Indonesia termasuk kelompok Notariat Functionnel.
Lembaga Notariat di Indonesia, berasal dari jaman belanda karena Peraturan Jabatan Notaris Indonesia berasal dari Notaris Reglement (Stbl. 1860-3) bahkan jauh sebelum yakni dalam tahun 1620 Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen mengankat Notarium Publicum.
Notaries pertama di Hindia Belanda ialah Melchior Kerchem dan tugasnya adalah melayani semua surat, surat wasiat dibawah tangan (codicil), dan persiapan penerangan, akta kontrak perdagangan, perjanjian kawin surat wasiat (testamen),  dan akta-akta lainnya dan ketentuan-ketentuan yang perlu dari kotapraja dan sebagainya. Melchior Kerchem waktu itu menjabat sebagai seketaris Collegevan Schepenen di Jakarta, sehingga Melchior Kerchem merangkap jabatan sebagai seketaris Van den gerechte dan notaries public. Baru lima tahun kemudian jabatan-jabatan tersebut dipisahkan dan jumlah notaries pada waktu itu bertambah terus.
Pengankatan-pengankatan Notaris tersebut diprioritaskan bagi kandidat-kandidat yang telah pernah menjalani masa magang pada seorang notaries.
Dahulu menjadi seorang notaries tidak diisyaratkan seorang Sarjana Hukum, tetapi mereka diisyaratkan lulus dari ujian yang diadakan oleh Departemen Kehakiman, sedangkan mulai tahun 1958 dinegeri Belanda pendidikan notariat dijadikan pendidikan Universitas.
Di Indonesia sekarang hanya Sarjana Hukum yang diterima pada pendidikan Notariat, karena jabatan notaries adalah jabatan kepercayaan, maka perlu diisyaratkan adanya standar minimalkemanpuan, yaitu pendidikan Sarjana Hukum.[2]

Dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, dikemukakan bahwa Notaris adalah Pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk  menbuat akte otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tunggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang akta itu oleh suatu peraturan tidak juga ditugaskan atau kecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Dari apa yang dikemukakan pasal tersebut terlihatlah dengan jelas bahwa tugas jabatan notaries adalah menbuat akta otentik, adapun yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akte dibuatnya (Pasal 1868 KUH.Perdata).
Selain itu Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) tersebut dapat juga dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pejabat Umum adalah seorang yang dengan kedinasannya dengan koorporasi umum yaitu Propinsi, daerah kota praja dan lain-lain, Daerah Otonom, mewakili badan-badan tersebut dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan melaksanakan tugas-tugas yang ada pada kedinasannya.
Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh Negara, bekerja juga untuk kepentingan Negara, namun demikian Notaris buaknlah pegawai sebagai mana dimaksud dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sebab dia tidak menerima gaji, dia hanya menerima honorarium atau fee dari klien, dan dapat dikatakan bahwa notaries, adalah pegawai pemerintah tanpa menerima suatu gaji dari pihak pemerintah, notaries dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pension dari pemerintah.
Karena tugas yang diemban pemerintah adalah tugas yang seharusnya merupaka tugas pemerintah, maka hasil pekerjaan Notaris menpunyai akibat hokum, notaries dibebani sebagian kekuasaan Negara dan memberikan pada aktenya kekuatan otentik yang eksekutorial.
Fungsi dan gerak notaris dalam gerak pembangunan Nasional semakin kompleks dewasa ini tentunya semakin luas dan makin berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hokum segenap usaha yang dijalankan oleh segenap pihak makin banyak dan luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hokum yang dihasilka oleh Notaris, pemerintah (sebagai yang menberikan sebagian kewenangan kepada notaries) dan masyarakat banyak tentunya menpunyai harapan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh notaries benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan.
Jabatan notaris selain sebagai jabatan yang menggeluti masalah-masalah tehnis hukum, juga harus turut berpertisipasi aktif dalam pengembangan hokum nasional, oleh karena itu notaries harus senang tiasa menhayati idialisme perjuangan bangsa secara menyeluruh (terutama sekali dalam rangka peningkatan jasa pelayanan), yang pada akhirnya notaries manpu melaksanakan profesinya secara professional.[3]

Rincian Kode Etik Notaris

Uraian mengenai kode etik notaris meliputi: etika kepribadian notaris, etika melakukan tugas jabatan, etika pelayanan terhadap klien, etika hubungan sesama rekan notaries, dan etika pengawasan terhadap notaris, kemudian analisis hubungannya dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian akan diketahui apakah kode etik notaris memiliki upaya paksaan yang berasal dari undang-undang.

Etika kepribadian notaris
Sebagai pejabat umum, notaris :
(a)    berjiwa pancasila
(b)   taat kepada hokum, sumpah jabatan, Kode Etik Notaris;
(c)    berbahasa Indonesia yang baik
sebagai professional, notaris :
(a)    memiliki perilaku professional
(b)   ikut serta pembangunan nasional dibidang hukum;
(c)    menjungjung tinggi kehormatan dan martabat notaris.

Dalam penjelasannya bahwa notaris menertibkan diri sesuai dengan fungsi, kewenangan, dan kewajiban sebagai mana ditentukan dalam peraturan jabatan notaris.
Selanjutnya dijelaskan bahwa notaries harus memiliki perilaku professional(Profesional behavior). Unsur-unsur perilaku professional adalah sebagai berikut :
(a)    keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman tinggi
(b)   integritas moral artinya menhindari sesuatu yang tidak baik walaupun imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, sopan santun, dan agama;
(c)    jujur tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pihak diri sendiri;
(d)   tidak semata-semata pertimbangan uang, melainkan juga pengabdian, tidak membedakan orang mampu atau tidak mampu;
(e)    berpegang pada kode etik profesi karena dalamnya ditentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh notaries, termasuk berbahasa Indonesia yang sempurna.

Etika melakukan tugas jabatan
Sebagai pejabat umum dalam melaksanakan tugas jabatannya, notaris :
(a)    menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak berpihak, dan penuh rasa tanggung jawab;
(b)   menggunakan satu kantor yang telah ditetapkan sesuai dengan undang-undang, tidak mengguankan kantor cabang perwakilan dan tidak menggunakan perantara;
(c)    tidak mengguanakan media massa yang bersifat promosi;
(d)   harus memasang papan nama menurut ukuran yang berlaku.

Etika pelayanan terhadap klien
Sebagai pejabat umum notaris :
(a)    memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya;
(b)   menyelesaikan akta sampai tahap pendaftaran pada pengadilan negeri dan pengemuman dalam Berita Negara, apabila klien yang bersangkutan dengan tegas menyatakan akan menyerahkan pengurusannya kepada notaris yang bersangkutan dengan klien telah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan;
(c)    menberi tahu kepada klien perihal selesainya pendaftaran dan pengumuman, dan atau mengirim kepada atau menyuruh mengambil akta yang sudah didaftar atau Berita Negara yang sudah selesai dicetak tersebut oleh klien yang bersangkutan;
(d)   memberikan penyuluhan hokum agar mesyarakat menyadari hak dan kewajiban sebagai warga Negara dan anggota masyarakat;
(e)    member jasa kepada anggota masyarakat yang kurang manpu dengan Cuma-Cuma;
(f)    dilarang menahan berkas seorang dengan maksud dengan memaksa orang itu menbuat akta kepada notaries yang menahan berkas itu;
(g)   dilarang menjadi alat orang atau pihak lain untuk semata-mata menandatangani akta buatan orang lain sebagai akta buatan notaries yang bersangkutan.
(h)   Dilarang mengirim minuta kepada klien atau klien-klien untuk ditandatangani oleh klien atau klien-klien yang bersangkutan;
(i)     Dilarang menbujuk atau dengan cara apapun memaksa klien menbuat akta padanya, atau menbujuj-bujuk seorang agar pindah dari notaries lain;
(j)     Dilarang menbentuk kelompok didalam tugas ini dengan tujuan untuk melayani kepentingan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga secara khusus/ekslusif, apalagi menutup kemungkinan anggota lain untuk berpartifikasi.

Etika hubungan sesama rekan notaris  
Sebagai sesama , pejabat umum notaris :
(a)    Saling menhormati dan saling kekeluargaan;
(b)   Saling melakukan persaingan yang merugikan sesame rekan notaries, baik moral maupun material;
(c)    Harus saling menjaga dan menbela kehormatan dan nama baik korp Notaris atas dasar solidaritas dan sikap tolong-menolong secara konstruktif.
Dalam penjelasan dinyatakan, menhormati dalam suasana kekeluargaan itu artinya tidak menkritik, menyalahkan akta-akta yang dibuat rekan notaries lainnya di hadapan klien atau masyarakat.  Notaries tidak menbiarkan rekannya berbuat salah dalam jabatannya dan seharusnya menberitahukan kesalahan rekannya dan menolong menperbaikinya. Notaries yang ditolong janganlah curiga. Tidak melakukan persaingan yang merugikan sesame rekan dalam arti tidak menarik karyawan notaries lain secara tidak wajar, tidak mengguanakn calo (perantara) yang mendapat upah, tidak menurunkan tarif jasa yang telah disepakati.
Menjaga dan menbela kehormatan dan nama baik dalam arti tidak mencampurkan usaha lain dengan jabatan notaries, menberikan informasi atau masuka mengenai klien-klien yang nakal setempat.

Etika pengawasan
(a)    Pengawasan terhadap notaries melalui pelaksanaan Kode Etik notaries dilakukan oleh majelis kehormatan daerah dan atau Pusat Ikatan Notaris Indonesia.
(b)   Tata cara pelaksanaan kode etik, sanksi-sanksi dan eksekusi diatur dalam peraturan tersendiri yang merupakan lampiran dari Kode Etk Notaris ini.
(c)    Tanpa mengurangi ketentuan mengenai tata cara maupun pengenaan tingkatan sanksi-sanksi berupa peringatan dan teguran, maka pelanggaran-pelanggaran yang oleh Pengurus Pusat secara mutlak harus dikenakan sanksi pemberhentian sementara sebagai anggota ini disertai usul Pengurus Pusat kepada Kongres untuk memecat anggota yang bersangkutan adalah pelanggaran-pelanggaran yang disebut dalam Kode Etik Notaris dalam peraturan jabatan notaries, yang berakibat bahwa anggota yang bersangkutan dinyatakan bersalah berdasarkan keputusan pengadilan yang menperoleh keputusan hukum tetap.

Hubungan Kode Etik Notaris dengan Undang-Undang
Jabatan notaries diatur dengan undang-undang yaitu peraturan jabatan Notaris (Stb No. 3 Tahun 1860). Seorang yang menjabat notaries harus mematuhi undang-undang tersebut dan berpegang pada Kode Etik Notaris. Hubungan antara Peraturan jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris terletak pada ketentuan Kode Etik Notaris yang diangkat dari ketentuan Peraturan Jabatan Notaris dan pengenaan sanksi terhadap kedua-duanya.
Baik Undang-Undang maupun Kode Etik Notaris menhendaki supaya notaries melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk menbuat akta otentik mengenai suasana pembuatan, perjanjian, dan ketetapan yang oleh peraturan umum atau pihak yang berkepentingan dikehendaki agar dinyatakan dalam akta otentik, tentu saja dalam mengembangkan tugasnya itu, notaries harus bertanggungjawab, artinya :
(a)    Notaries dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hokum dan permintaan pihak berkepentingan karena jabatannya.
(b)   Notaris dituntut menhasilkan akta bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hokum dan kehendak pihak yang berkepentingan dalam artian sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaries harus menjelaskan kepada pihak berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu.
(c)    Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu menpunyai kekuatan bukti sempurna.[4]

Tempat Kedudukan, Formasi, dan Wilayah Jabatan Notaris.
Notaries dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus menpunyai wilayah kerja sebagai tempat kedudukan. Tempat kedudukan notaries ini terbatas pada wilayah kabupaten/kota. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 18 UU No 30 Tahun 2004, dinyatakan bahwa; Notaris menpunyai kedudukan di Daerah Kabupaten/Kota. Notaries menpunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Oleh karena itu, peraturan jabatan notaries ini dengan tegas menperkenankan notaries hanya menpunyai satu kantor. Dalam Pasal 19 UU No 30 Tahun 2004 dinyatakan bahwa notaries wajib menpunyai hanya satu kantor, yaitu tempat kedudukannya. Notaries tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan diluar tempat kedudukannya.
Dalam katannya dengan tempat kedudukan notaries diatas, maka keberadaan notaries harus disesuaikan pula dengan kondisi wilayah yang ada ditempat kedudukannya. Oleh karena itu untuk mencukupi jumlah notaries disuatu tempat, maka tetap mengacu pada, misalnya jumlah penduduk yang ada diwilayah Kabupaten/kota tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 22 UU No 30 Tahun 2004, dinyatakan bahwa formasi jabatan notaries ditetapkan berdasarkan:
a.       Kegiatan dunia usaha;
b.      Jumlah penduduk; dan/atau
c.       Rata-rata jumlah akta yaqng dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris setiap bulan.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 22 di atas, maka untuk mencari suasana yang lebih baik, UU No 30 Tahun 2004 ini menberikan kesempatan kepada Notaris untuk pindah tempet kerja. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU No 30 Tahun 2004, dinyatakan bahwa Notaris tertulis kepada menteri, syarat pindah jabatan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) adalah 3 (tiga) berturut-turut melaksanakan tugas jabatan pada daerah kabupaten kota tertentu tempat kedudukan notaries. Sementara itu, dalam pasal 24 tersebut dinyatakan bahwa:Dalam keadaan terentu atas permohonan Notaris yang bersangkutan, Menteri dapatmemindahkan seorang notaries dari suatu wilayah jabatan ke wilayah jabatan lain.[5]


[1] Frans Magnis suseno, Etika Dasar, Kanikus, Yogyakarta, 2006, hlm 17

[2] Liliana Tedjosaputro,Prof.Dr, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003, hlm 91-93

[3] Suhrawadi K.Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 33-35

[4] Abdul Kadir Muhammad,Prof.Dr, Etika Profesi Hukum, PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 2006, hlm 89-95

[5] Supriadi,S.H.,M.Hum., Etika dan Tanggung jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 34-36

KASUS LUMPUR LAPINDO SEBAGAI KEJAHATAN KORPORASI (Endangering The Public Walfare) tulisan jadul Ulhaq Andyaksa

Prolog :
Kejahatan yang terjadi pada kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah suatu kejahatan yang tidak berhenti ketika pelaku berhasil di jebloskan ke dalam penjara atau memberikan ganti kerugian. Kejahatan ini akan menimbulkan dampak yang akumulatif dan cenderung melahirkan suatu bentuk kejahatan baru. Destructive logging adalah contoh konkret yang selanjutnya dapat melahirkan rentetan bencana berupa banjir, longsor, kekeringan, gagal panen, gagal tanam dan kebakaran hutan. Bahkan dampak dari destructive logging dapat menimbulkan hilangnya nyawa dan harta benda bagi mereka yang tertimpa bencana ikutan tersebut. Berikutnya ketidak sigapan negara dalam menanggulangi bencana akan melahirkan pelanggaran terhadap hak-hak penggungsi (akibat tersingkir dari tempat hidupnya) yang di nyatakan secara tegas dalam berbagai perjanjian atau kesepakatan internasional termasuk covenant on economic social and political right. Inilah yang WALHI sebutkan sebagai kejahatan yang dapat melahirkan akumulasi dampak dan kejahatan lainnya. Lingkup kejahatan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup sangatlah luas. Antara lain terdapat pada sektor kehutanan, perikanan dan kelautan, pertambangan mineral dan sumber-sumber energi fosil serta sumberdaya air. Dimana sector tersebut adalah sektor yang paling sering dikelola secara destructive. Melihat polanya maka dalam pandangan diatas, kejahatan ini bukanlah suatu peristiwa yang berdiri sendiri. Kesalahan dalam pengurusan yang telah berlangsung lama menjadi salah faktor utama pendorong terjadinya kejahatan tersebut termasuk regulasi yang mengaturnya. Belum lagi lemahnya penegakan hukum yang berimplikasi pada semakin tingginya tingkat kejahatan tersebut. Parahnya, (oknum) aparat penegak hukum juga menjadi bagian dari praktek/modus bagaimana kejahatan ini berlangsung dan dilakukan terus menerus.
Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitasaktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”. Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law“. Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hokum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Kasus Posisi :
Banjir lumpur panas Lapindo di Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi sejak tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lokasi semburan lumpur panas berada di Kecamatan Porong, di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan di sebelah selatan. Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur BanjarPanji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas
sebagai pelaksana teknis blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut.
Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori yang berhubungan dengan asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur "kebetulan" terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.


Analisis :
Korporasi yang saat ini sedang mendapat sorotan atas dugaan pelanggaran terhadap lingkungan yang sedang terjadi adalah Lapindo brantas Inc. yang terkait dengan luapan lumpur dan gas di Porong Sidoarjo Jawa Timur. Telah 200 hari sejak pertama kali lumpur itu menyembur dari sumur galian milik Lapindo Brantas Inc., salah satu dari berbagai anak perusahaan milik PT. Energi Mega Persada Tbk (EMP). Lapindo Brantas didirikan khusus untuk mengeksploitasi sumur-sumur yang ada di Blok Brantas, dalam hal ini, Lapindo Brantas/EMP ibaratnya hanya sebagai operator, sedangkan saham Blok Brantas tersebut dimiliki bersama oleh PT. Energi Mega Persada Tbk, PT. Medco Energi Tbk, dan Santoz LTD-Australia Perusahaan-perusahaan yang menguasai saham di Lapindo Brantas/EMP merupakan perusahaan yang juga memiliki berbagai kilang minyak dan gas yang tersebar seantero Nusantara.
Perbuatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok Brantas yang telah terjadi selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya pelanggaran terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan terjadinya kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari semburan lumpur tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun korban serta lingkungan yang rusak terus bertambah besar dan luas jumlahnya, tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti menenggelamkan Kec. Porong dan sekitarnya. Yang sangat jelas terlihat saat ini adalah Lapindo Brantas/EMP sebagai pemegang hak
eksploitasi dan eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal 45 undangundang tersebut. Namun tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan atau kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi hukuman. Dan hal ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilan akan terkoyak.
Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu :
1. Dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang Jalan.
2. Dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat
2 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang Perikanan.
3. Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
kejahatan korporasi adalah merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan keperdataan, artinya hubungan yang menimbulkan tindak pidana tersebut adalah perbuatan perdata. Melakukan pengeboran yang bertujuan sebagai kegiatan penambangan gas di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc., menurut pengertian kejahatan korporasi adalah merupakan perbuatan perdata, sedangkan hal yang berlanjut mengenai adanya kesalahan manusia atau human error dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain adalah merupakan perbuatan tindak pidana.
Human error yang dilakukan oleh Lapindo Brantas adalah tidak dipasangnya pipa selubung dalam aktivitas pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana itu terjadi. Pemasangan chasing (pipa selubung) yang tidak dilakukan lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari sebuah korporasi dengan tidak dilaksanakannya standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran.
Kejahatan korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup, yaitu tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah korporasi bernama Lapindo Brantas Incorporated. Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi tersebut merugikan tidak hanya secara material, namun juga telah merugikan lingkungan hidup masyarakat Sidorajo. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan. Dalam kasus Lapindo ditemukan beberapa pelanggaran hukum yang bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam undang-undang antara lain hukum lingkungan hidup (UULH), hukum Pidana (KUHP) dan hukum Perdata (KUHPer).
Sanksi dapat dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang yang memberi perintah maupun yang melaksanakan perintah, dalam kejadian ini, korporasi dapat juga dijadikan tersangka sesuai dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan didalam RUU KUHP Paragraf  7 tentang Korporasi yang dimulai dari pasal 44-49. Hingga saat ini tindakan nyata dari Lapindo Brantas (Lapindo) sebagai pemegang izin eksplorasi dan eksplotasi pada Blok Brantas baru sebatas pemberian ganti rugi terhadap kerusakan fisik yang diderita warga sekitar daerah bencana. Sementara upaya menghentikan semburan lumpur dan upaya penanggulangan dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan sebagai akibat lain dari bencana tersebut belum ditangani secara benar dan sistematis.
definisi tentang perusakan lingkungan hidup yang terdapat dalam Pasal 1 angka 14 memuat unsure-unsur sebagai berikut :
1. adanya tindakan, tindakan yang dilakukan adalah pengeboran migas oleh PT. Lapindo Brantas dalam rangka mengeksplorasi dan ekplotasi sumber migas di Blok Brantas tersebut.
2. yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak terhadap perubahan fisik dan/ atau hayati lingkungan, semburan dan luberan lumpur yang masih terjadi saat ini memuat kandungan bahan-bahan berbahaya dan beracun (B3) yang mengakibatkan perubahan langsung terhadap perubahan fisik lingkungan hidup di Kec. Porong dan sekitarnya yang belum ada kepastian sampai berapa lama lagi luberan lumpur ini akan berlanjut.
3. yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan, melihat fakta luberan dan semburan lumpur yang semakin hari semakin meningkat sudah jelas tidak akan terjadi pembangunan di Kec. Porong Sidoarjo dan sekitarnya tersebut, daerah ini akan terisolasi dan tidak ada yang dapat memperkirakan akan sampai berapa lama, bahkan jalan tol antara Surabaya-Gempol yang melewati daerah semburan lumpur ini diperkirakan akan ditutup dan tidak dapat dilewati kendaraan tranportasi orang dan barang.
Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas, penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan Lapindo sebagai pelaku kejahatan korporasi lingkungan125. Berbeda dari sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan dalam pembuktian sebuah perbuatan pidana, dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak, hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa, yang artinya adalah dalam melakukan perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui atau menyadari potensi hasil dari perbuatannya dapat merugikan pihak lain, maka keadaan ini telah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana kepadanya. Hal ini tentu saja dapat dilakukan oleh hakim sebagai living interpretator yang dapat menangkap semangat keadilan yang hidup ditengahtengah masyarakat dan hakim juga dapat mematahkan kekakuan normative prosedural undang-undang karena seiring dengan perkembangan hukum dan beradabnya negara-negara di seluruh dunia, hakim tidak lagi sekedar hanya mulut atau corong undang-undang (la bouche de la loi).
Epilog :
Penting untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkungan yang terjadi dan juga mengembalikan harkat dan martabat masyarakat korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc. sehingga kasus ini juga bisa dijadikan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melindungi warga Negara dan kepentingan ekonomi, social dan lingkungan hidupnya. Kasus lumpur panas di Kec. Porong Sidoarjo Jawa Timur ini harus diungkapkan dengan tuntas dan maksimal, dimana aparat penegak hokum harus melibatkan pihak-pihak terkait yang tidak saja mengerti akan norma-norma hukum Indonesia, tetapi juga penyelidikan seharusnya melibatkan penyidik sipil dari instansi tertentu yang menangani masalah lingkungan baik dari pemerintahan, pakar-pakar ahli bidang lingkungan maupun anggota-anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan. Pengusutan tidak saja dilakukan dijajaran karyawan PT. Lapindo Brantas saja, tapi harus juga diusut dari jajaran top managerial, karena kasus ini tidak lagi merupakan kasus lingkungan biasa yang akan selesai dengan hanya menerapkan sanksi berupa sanksi denda/administrasi.

Daftar Pustaka :
-  Mahrus Ali. Kejahatan Korporasi.  Yogyakarta: Bumi Intaran, 2008.
-  Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Rineka Cipta. Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan :
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
- Undang-undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Rancangan Undang-undang KUHP Desember 2006.