Rabu, 05 Oktober 2011

Pro Kontra Pencabutan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Peraturan PerUU yang Pro
  1. Pemeliharaan hutan, hak ulayat dan penetapan kawasan hutan lindung :
a.       Pasal 3 UU No. 5 tahun 1960 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Tetapi meskipun hak ulayat diberikan kepada suatu kelompok masyarakat seaakn-akan itu adalah hak miliknya tetapi perlu dierphatikan Pasal 1 huruf (1) “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”.
b.      Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1960 “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap orang, Badan Hukum atau Instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak-pihak ekonomi lemah”.
Dimana tiap-tiap orang dalam hal ini termasuk masyarakat adat seharusnya memelihara tetapi malah menyewakannya kepada investor asing untuk di eksploitasi yang justru menyebabkan kerusakan hutan dan kerugian tidak hanya dalam bidang ekonomi.
c.       Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
d.      Pasal 2 PP Nomor 28 tahun 1985, “Kegiatan Perlindungan Hutan bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat memenuhi fungsinya”.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan segala usaha, kegiatan dan tindakan untuk mencegah dan membatasi kerusakan  hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya  alam, hama dan penyakit, serta untuk memprtahankan dan menjaga hak – hak negara atas hasil hutan.
e.       Menurut UU Nomor 23 tahun 1997, Konservasi Sumber Daya Alam adalah pengelolaan sumber daya alam tak dapat diperbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan dapat diperbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
f.       UU Nomor 5 tahun 1990, pengertian tentang Konservasi sumber daya alam di atas lebih dipersingkat menjadi Pengelolaan sumber daya alam hayati yang pengelolaannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungn persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
g.      Menurut UU No. 41 tahun 1999, “penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari”. Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :
a.       Mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh manusia, ternak, kebakaran, daya – daya alam, hama serta penyakit
b.      Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, hasil hutan, inventarisasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
h.      Pasa l 23 UU No. 41 tahun 1999 “Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya”.
i.        Pasal 40 UU No. 41 tahun 1999 “Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga”.
j.        Pasal 43 ayat (1) UU No 41 tahun 1999 “Setiap orang yang memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi”.
k.      Pasal 68 ayat (1) UU No 41 tahun 1999 “Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan” tetapi dalam Pasal 69 (1) UU No. 41 tahun 1999 “Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan”
Teori yang Pro
1.        Hak ulayat adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku. Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat individual. Dalam pada itu, hak individual tersebut bukanlah bersifat pribadi, semata-mata, di dasari, bahwa yang dikuasai dan digunakan itu adalah sebagian dari tanah bersama. Oleh karena itu dalam penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompok, maka sifat penguasaan yang demikian itu pada dirinya mengandung apa yang disebut dengan unsur kebersamaan. Oleh sebab itu, hak bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak kepunyaan bersama, maka dalam rangka hak ulayat dimungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pasal 1 huruf 8 UU Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan “Hutan Lindung, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai sistem penyangga kehidupan, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah”.
2.        Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999) dalam Herlin Nurhidayati (2002 : 1)  menyatakan bahwa hutan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan dunia. Oleh karena itu, keberadaan hutan sangat penting bagi kehidupan baik hutan sebagai hutan produksi, sebagai perlindungan sistem penyandang kehidupan, sebagai tempat pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, sebagai tempat pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya atau sebagai tempat wisata alam.
3.        Peneliti Masalah-masalah Tanah Hak Ulayat Bismark Sanusi menyatakan tak dapat dibenarkan, jika di masa kini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari hubungannya dengan masyarakat hukum dan daerah lainnya di lingkungan negara kesatuan. "Sikap demikian dalam prakteknya menghambat usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya
4.        Lahan kritis merupakan suatu lahan yang kondisi tanahnya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia atau biologi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi di sekitar daerah pengaruhnya. Lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengatur media pengatur tata air, unsur produksi pertanian, maupun unsur perlindungan alam dan lingkungannya.
5.        Menurut UU Nomor 41 tahun 1999, Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem keidupan tetap terjaga. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diselengaarakan melalui kegiatan Reboisasi, Penghijauan, Pemeliharaan, Pengayan tanaman, atau Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis da tidak produktif. Menurut Supriyanto (1996 : 1) Kegiatan reboisasi dan penghijauan pada umunya dilakukan pada tanah kritis dan areal bekas pembalakan. Kedua kegiatan tersebut memerlukan bibit dalam jumlah besar dan berkualitas baik.
Fakta yang Pro
Fakta yang menunjukkan bahwa masalah pencabutan hak ulayat dalam penetapan kawasan hutan lindung:
a.       Kasus PT Freeport Indonesia, PT Newmoon Minahasa, Exen Mobile jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yaitu “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hak ulayat yang diberikan kepada masyarakat hukum adat malah dipakai oleh pihak asing untuk kepentingan investor sendiri. Dan dibeberapa kejadian lain bahwa hak ulayat malah disewakan kepada pihak lain. Memang hak itu bisa dipakai oleh jika dengan persetujaun oleh masyarakat hukum adat itu sendiri tetapi apabila disalahgunakan. Tentu hal itu tidak dapat dibiarkan.
b.      Jika klaim hak ulayat warga masyarakat hukum adat memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999, dan telah dilakukan penelitian sesuai prosedur, maka pemerintah harus mengakui dan menghormati hak ulayat warga masyarakat hukum adat tersebut. Peneliti Masalah-masalah Tanah Hak Ulayat Bismark Sanusi menyatakan berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tampak jelas bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, kalau memang dalam kenyataannya masih ada. Dan bila hak ulayat itu akan dipergunakan oleh pihak lain, haruslah atas persetujuan masyarakat pemilik hak ulayat tersebut. Tetapi apabila hak tersebut disalahgunakan maka tentu hak ulayat tersebut dapat dicabut.
c. Tanah-Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. 
Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
IV. KESIMPULAN 
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sekiranya dapat kami gambarkan bahwasanya hak ulayat dalam masyarakat hukum adat tersebut selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah-bersama para anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata, juga mengandung tugas, kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan peruntukan dan penggunaannya yang termasuk bidang hukum publik.  Hak bersama dalam masyarakat adat yang merupakan hak ulayat bukan hak milik dalam arti yuridis, melainkan merupakan hak kepunyaan bersama yang itu adalah kepentingan bersama.
Kesimpulan
1.    Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya dalam menghapusnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Tetapi apabila hak ulayat yang diberikan telah disalahgunakan dan telah merugikan negara dan bangsa Indonesia apakah hal tersebut akan dibiarkan. Negara dalam hal ini demi kepentingan umum maka dapat mencabut hak ulayat demi kepentingan nasional.
2.    Sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUUD 1945 “Bumi dan air dan kekayaan alam uyang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar keakmuran rakyat.”
Apabila hak ulayat yang diberikan kepada kelompok masyarakat sudah bertentangan dengan konstiusi dan disalahgunakan. Maka demi kepentingan umum hak ulayat harus dicabut untuk pelestarian, rehabilitasi dan perlindungan hutan serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar