Rabu, 15 Desember 2010

Catatan Hukum Tentang Kode Etik Notaris di Indonesia (ulhaq andyaksa)

KODE ETIK NOTARIS
 Notaris adalah sebuah profesi yang dapat dilacak balik ke abad ke 2-3 pada masa roma kuno, dimana mereka dikenal sebagai scribae, tabellius atau notarius. Pada masa itu, mereka adalah golongan orang yang mencatat pidato.
Istilah notaris diambil dari nama pengabdinya, notarius, yang kemudian menjadi istilah/titel bagi golongan orang penulis cepat atau stenografer. Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia.
Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif ataupun yudikatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral, sehingga apabila ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka notaris tidak lagi dapat dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, notaris diharapkan untuk memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang dilakukan notaris atas permintaan kliennya. Dalan hal melakukan tindakan hukum untuk kliennya, notaris juga tidak boleh memihak kliennya, karena tugas notaris ialah untuk mencegah terjadinya masalah. 

Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik.[1]
Berkaitan dengan Etika maka akan menyangkut etika seorang yang bekerja disuatu profesi hokum tertentu seperti notaries dimana dalam profesi notaries tentunya menpunyai nilai-nilai dan etika dalam menjalankan kegiatannya dan melaksanakan tugasnya sebagai mana yang diatur dan ditentukan dalam etika profesi notaries.
Lembaga notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul karena adanya kebutuhan dalam pergaulan, yang menkehendaki adanya alat bukti bagi mereka dalam hubungan hokum. Lembaga notaris ini merupakan suatu lembaga yang berada diseluruh dunia. Tiap Negara memiliki cirri-ciri lembaga Notariat yang mereka tuliskan masing-masing dalam Atlas Du Notariat (Le Notariat le Monde)
Meskipun lembaga Notaris terdapat dipelbagai Negara, tetapi ada perbedaan antara lembaga notaries yang satu dengan yang lainnya, karena lembaga Notariat dari kelompok yang menganut Civil Law system akan berbeda dengan kelompok yang mengikuti Common law system. Juga dengan kelompok Negara komunis dengan kelompok Negara-negara asia dan afrika. Kelompok yang menikuti Civil law system adalah Negara-negara seperti Belanda, Belgia, Luxsemburg, Jerman, Austria, Swiss, Skandinavia, Itali, Yunani, Spanyol, dan juga Negara-negara bekas jajahan mereka.
Kelompok yang menganut Common law system adalah Inggris, Amerika Serikat, Canada, Australia Dan Afrika Selatan.
Menurut Izenis, bentuk lembaga Notariat ini dapat dibagi dalam dua kelompok utama, yaitu :
1.      Notariat Functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah didelegasikan (gedelegeerd) dan demikian diduga menpunyai kebenaran yang isinya menpunyai kekuatan bukti formal dan menpunyai daya atau kekuatan eksekusi. Di Negara yang menganut macam Notariat Functionnel ini terdapat pemisahan keras antara wettelejke dan niet wetteleijke werzaamheden, yaitu pekerjaan yang berdasarka undang-undang atau hokum yang tidak atau bukan, dalam notariat; dan
2.      Notariat Professionnel, dalam kelompok ini, walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta notaries itu tidak menpunyai akibat-akibat khusus tentang kebenaran, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya. Teori Izenik ini didasarkan pada pemikiran bahwa natariat itu merupakan bagian dari era sekali hubungan dengan kekuasaan kehakiman/pengadilan (rechttelijke macht), sebagai mana terdapat di Prancis dan Negari belanda (Komar-Andasasmita, 1981:21).
Lembaga Notariat di Negara-Negara yang menganut Common law system, seperti belanda dan Indonesia termasuk kelompok Notariat Functionnel.
Lembaga Notariat di Indonesia, berasal dari jaman belanda karena Peraturan Jabatan Notaris Indonesia berasal dari Notaris Reglement (Stbl. 1860-3) bahkan jauh sebelum yakni dalam tahun 1620 Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen mengankat Notarium Publicum.
Notaries pertama di Hindia Belanda ialah Melchior Kerchem dan tugasnya adalah melayani semua surat, surat wasiat dibawah tangan (codicil), dan persiapan penerangan, akta kontrak perdagangan, perjanjian kawin surat wasiat (testamen),  dan akta-akta lainnya dan ketentuan-ketentuan yang perlu dari kotapraja dan sebagainya. Melchior Kerchem waktu itu menjabat sebagai seketaris Collegevan Schepenen di Jakarta, sehingga Melchior Kerchem merangkap jabatan sebagai seketaris Van den gerechte dan notaries public. Baru lima tahun kemudian jabatan-jabatan tersebut dipisahkan dan jumlah notaries pada waktu itu bertambah terus.
Pengankatan-pengankatan Notaris tersebut diprioritaskan bagi kandidat-kandidat yang telah pernah menjalani masa magang pada seorang notaries.
Dahulu menjadi seorang notaries tidak diisyaratkan seorang Sarjana Hukum, tetapi mereka diisyaratkan lulus dari ujian yang diadakan oleh Departemen Kehakiman, sedangkan mulai tahun 1958 dinegeri Belanda pendidikan notariat dijadikan pendidikan Universitas.
Di Indonesia sekarang hanya Sarjana Hukum yang diterima pada pendidikan Notariat, karena jabatan notaries adalah jabatan kepercayaan, maka perlu diisyaratkan adanya standar minimalkemanpuan, yaitu pendidikan Sarjana Hukum.[2]

Dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, dikemukakan bahwa Notaris adalah Pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk  menbuat akte otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tunggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang akta itu oleh suatu peraturan tidak juga ditugaskan atau kecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Dari apa yang dikemukakan pasal tersebut terlihatlah dengan jelas bahwa tugas jabatan notaries adalah menbuat akta otentik, adapun yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akte dibuatnya (Pasal 1868 KUH.Perdata).
Selain itu Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) tersebut dapat juga dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pejabat Umum adalah seorang yang dengan kedinasannya dengan koorporasi umum yaitu Propinsi, daerah kota praja dan lain-lain, Daerah Otonom, mewakili badan-badan tersebut dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan melaksanakan tugas-tugas yang ada pada kedinasannya.
Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh Negara, bekerja juga untuk kepentingan Negara, namun demikian Notaris buaknlah pegawai sebagai mana dimaksud dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sebab dia tidak menerima gaji, dia hanya menerima honorarium atau fee dari klien, dan dapat dikatakan bahwa notaries, adalah pegawai pemerintah tanpa menerima suatu gaji dari pihak pemerintah, notaries dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pension dari pemerintah.
Karena tugas yang diemban pemerintah adalah tugas yang seharusnya merupaka tugas pemerintah, maka hasil pekerjaan Notaris menpunyai akibat hokum, notaries dibebani sebagian kekuasaan Negara dan memberikan pada aktenya kekuatan otentik yang eksekutorial.
Fungsi dan gerak notaris dalam gerak pembangunan Nasional semakin kompleks dewasa ini tentunya semakin luas dan makin berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hokum segenap usaha yang dijalankan oleh segenap pihak makin banyak dan luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hokum yang dihasilka oleh Notaris, pemerintah (sebagai yang menberikan sebagian kewenangan kepada notaries) dan masyarakat banyak tentunya menpunyai harapan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh notaries benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan.
Jabatan notaris selain sebagai jabatan yang menggeluti masalah-masalah tehnis hukum, juga harus turut berpertisipasi aktif dalam pengembangan hokum nasional, oleh karena itu notaries harus senang tiasa menhayati idialisme perjuangan bangsa secara menyeluruh (terutama sekali dalam rangka peningkatan jasa pelayanan), yang pada akhirnya notaries manpu melaksanakan profesinya secara professional.[3]

Rincian Kode Etik Notaris

Uraian mengenai kode etik notaris meliputi: etika kepribadian notaris, etika melakukan tugas jabatan, etika pelayanan terhadap klien, etika hubungan sesama rekan notaries, dan etika pengawasan terhadap notaris, kemudian analisis hubungannya dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian akan diketahui apakah kode etik notaris memiliki upaya paksaan yang berasal dari undang-undang.

Etika kepribadian notaris
Sebagai pejabat umum, notaris :
(a)    berjiwa pancasila
(b)   taat kepada hokum, sumpah jabatan, Kode Etik Notaris;
(c)    berbahasa Indonesia yang baik
sebagai professional, notaris :
(a)    memiliki perilaku professional
(b)   ikut serta pembangunan nasional dibidang hukum;
(c)    menjungjung tinggi kehormatan dan martabat notaris.

Dalam penjelasannya bahwa notaris menertibkan diri sesuai dengan fungsi, kewenangan, dan kewajiban sebagai mana ditentukan dalam peraturan jabatan notaris.
Selanjutnya dijelaskan bahwa notaries harus memiliki perilaku professional(Profesional behavior). Unsur-unsur perilaku professional adalah sebagai berikut :
(a)    keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman tinggi
(b)   integritas moral artinya menhindari sesuatu yang tidak baik walaupun imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, sopan santun, dan agama;
(c)    jujur tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pihak diri sendiri;
(d)   tidak semata-semata pertimbangan uang, melainkan juga pengabdian, tidak membedakan orang mampu atau tidak mampu;
(e)    berpegang pada kode etik profesi karena dalamnya ditentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh notaries, termasuk berbahasa Indonesia yang sempurna.

Etika melakukan tugas jabatan
Sebagai pejabat umum dalam melaksanakan tugas jabatannya, notaris :
(a)    menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak berpihak, dan penuh rasa tanggung jawab;
(b)   menggunakan satu kantor yang telah ditetapkan sesuai dengan undang-undang, tidak mengguankan kantor cabang perwakilan dan tidak menggunakan perantara;
(c)    tidak mengguanakan media massa yang bersifat promosi;
(d)   harus memasang papan nama menurut ukuran yang berlaku.

Etika pelayanan terhadap klien
Sebagai pejabat umum notaris :
(a)    memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya;
(b)   menyelesaikan akta sampai tahap pendaftaran pada pengadilan negeri dan pengemuman dalam Berita Negara, apabila klien yang bersangkutan dengan tegas menyatakan akan menyerahkan pengurusannya kepada notaris yang bersangkutan dengan klien telah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan;
(c)    menberi tahu kepada klien perihal selesainya pendaftaran dan pengumuman, dan atau mengirim kepada atau menyuruh mengambil akta yang sudah didaftar atau Berita Negara yang sudah selesai dicetak tersebut oleh klien yang bersangkutan;
(d)   memberikan penyuluhan hokum agar mesyarakat menyadari hak dan kewajiban sebagai warga Negara dan anggota masyarakat;
(e)    member jasa kepada anggota masyarakat yang kurang manpu dengan Cuma-Cuma;
(f)    dilarang menahan berkas seorang dengan maksud dengan memaksa orang itu menbuat akta kepada notaries yang menahan berkas itu;
(g)   dilarang menjadi alat orang atau pihak lain untuk semata-mata menandatangani akta buatan orang lain sebagai akta buatan notaries yang bersangkutan.
(h)   Dilarang mengirim minuta kepada klien atau klien-klien untuk ditandatangani oleh klien atau klien-klien yang bersangkutan;
(i)     Dilarang menbujuk atau dengan cara apapun memaksa klien menbuat akta padanya, atau menbujuj-bujuk seorang agar pindah dari notaries lain;
(j)     Dilarang menbentuk kelompok didalam tugas ini dengan tujuan untuk melayani kepentingan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga secara khusus/ekslusif, apalagi menutup kemungkinan anggota lain untuk berpartifikasi.

Etika hubungan sesama rekan notaris  
Sebagai sesama , pejabat umum notaris :
(a)    Saling menhormati dan saling kekeluargaan;
(b)   Saling melakukan persaingan yang merugikan sesame rekan notaries, baik moral maupun material;
(c)    Harus saling menjaga dan menbela kehormatan dan nama baik korp Notaris atas dasar solidaritas dan sikap tolong-menolong secara konstruktif.
Dalam penjelasan dinyatakan, menhormati dalam suasana kekeluargaan itu artinya tidak menkritik, menyalahkan akta-akta yang dibuat rekan notaries lainnya di hadapan klien atau masyarakat.  Notaries tidak menbiarkan rekannya berbuat salah dalam jabatannya dan seharusnya menberitahukan kesalahan rekannya dan menolong menperbaikinya. Notaries yang ditolong janganlah curiga. Tidak melakukan persaingan yang merugikan sesame rekan dalam arti tidak menarik karyawan notaries lain secara tidak wajar, tidak mengguanakn calo (perantara) yang mendapat upah, tidak menurunkan tarif jasa yang telah disepakati.
Menjaga dan menbela kehormatan dan nama baik dalam arti tidak mencampurkan usaha lain dengan jabatan notaries, menberikan informasi atau masuka mengenai klien-klien yang nakal setempat.

Etika pengawasan
(a)    Pengawasan terhadap notaries melalui pelaksanaan Kode Etik notaries dilakukan oleh majelis kehormatan daerah dan atau Pusat Ikatan Notaris Indonesia.
(b)   Tata cara pelaksanaan kode etik, sanksi-sanksi dan eksekusi diatur dalam peraturan tersendiri yang merupakan lampiran dari Kode Etk Notaris ini.
(c)    Tanpa mengurangi ketentuan mengenai tata cara maupun pengenaan tingkatan sanksi-sanksi berupa peringatan dan teguran, maka pelanggaran-pelanggaran yang oleh Pengurus Pusat secara mutlak harus dikenakan sanksi pemberhentian sementara sebagai anggota ini disertai usul Pengurus Pusat kepada Kongres untuk memecat anggota yang bersangkutan adalah pelanggaran-pelanggaran yang disebut dalam Kode Etik Notaris dalam peraturan jabatan notaries, yang berakibat bahwa anggota yang bersangkutan dinyatakan bersalah berdasarkan keputusan pengadilan yang menperoleh keputusan hukum tetap.

Hubungan Kode Etik Notaris dengan Undang-Undang
Jabatan notaries diatur dengan undang-undang yaitu peraturan jabatan Notaris (Stb No. 3 Tahun 1860). Seorang yang menjabat notaries harus mematuhi undang-undang tersebut dan berpegang pada Kode Etik Notaris. Hubungan antara Peraturan jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris terletak pada ketentuan Kode Etik Notaris yang diangkat dari ketentuan Peraturan Jabatan Notaris dan pengenaan sanksi terhadap kedua-duanya.
Baik Undang-Undang maupun Kode Etik Notaris menhendaki supaya notaries melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk menbuat akta otentik mengenai suasana pembuatan, perjanjian, dan ketetapan yang oleh peraturan umum atau pihak yang berkepentingan dikehendaki agar dinyatakan dalam akta otentik, tentu saja dalam mengembangkan tugasnya itu, notaries harus bertanggungjawab, artinya :
(a)    Notaries dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hokum dan permintaan pihak berkepentingan karena jabatannya.
(b)   Notaris dituntut menhasilkan akta bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hokum dan kehendak pihak yang berkepentingan dalam artian sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaries harus menjelaskan kepada pihak berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu.
(c)    Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu menpunyai kekuatan bukti sempurna.[4]

Tempat Kedudukan, Formasi, dan Wilayah Jabatan Notaris.
Notaries dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus menpunyai wilayah kerja sebagai tempat kedudukan. Tempat kedudukan notaries ini terbatas pada wilayah kabupaten/kota. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 18 UU No 30 Tahun 2004, dinyatakan bahwa; Notaris menpunyai kedudukan di Daerah Kabupaten/Kota. Notaries menpunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Oleh karena itu, peraturan jabatan notaries ini dengan tegas menperkenankan notaries hanya menpunyai satu kantor. Dalam Pasal 19 UU No 30 Tahun 2004 dinyatakan bahwa notaries wajib menpunyai hanya satu kantor, yaitu tempat kedudukannya. Notaries tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan diluar tempat kedudukannya.
Dalam katannya dengan tempat kedudukan notaries diatas, maka keberadaan notaries harus disesuaikan pula dengan kondisi wilayah yang ada ditempat kedudukannya. Oleh karena itu untuk mencukupi jumlah notaries disuatu tempat, maka tetap mengacu pada, misalnya jumlah penduduk yang ada diwilayah Kabupaten/kota tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 22 UU No 30 Tahun 2004, dinyatakan bahwa formasi jabatan notaries ditetapkan berdasarkan:
a.       Kegiatan dunia usaha;
b.      Jumlah penduduk; dan/atau
c.       Rata-rata jumlah akta yaqng dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris setiap bulan.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 22 di atas, maka untuk mencari suasana yang lebih baik, UU No 30 Tahun 2004 ini menberikan kesempatan kepada Notaris untuk pindah tempet kerja. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU No 30 Tahun 2004, dinyatakan bahwa Notaris tertulis kepada menteri, syarat pindah jabatan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) adalah 3 (tiga) berturut-turut melaksanakan tugas jabatan pada daerah kabupaten kota tertentu tempat kedudukan notaries. Sementara itu, dalam pasal 24 tersebut dinyatakan bahwa:Dalam keadaan terentu atas permohonan Notaris yang bersangkutan, Menteri dapatmemindahkan seorang notaries dari suatu wilayah jabatan ke wilayah jabatan lain.[5]


[1] Frans Magnis suseno, Etika Dasar, Kanikus, Yogyakarta, 2006, hlm 17

[2] Liliana Tedjosaputro,Prof.Dr, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003, hlm 91-93

[3] Suhrawadi K.Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 33-35

[4] Abdul Kadir Muhammad,Prof.Dr, Etika Profesi Hukum, PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 2006, hlm 89-95

[5] Supriadi,S.H.,M.Hum., Etika dan Tanggung jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 34-36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar