Rabu, 15 Desember 2010

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENEGAKANNYA (Catatan Singkat Ulhaq Andyaksa)

korupsi merupakan masalah kronis yang sangat menyeramkan dan mempunyai efek merusak yang sistemik, namun secara umum kita sendiri kadang tidak menyadari tindakan-tindakan korups yang secara sadar maupun tidak sadar terjadi disekeliling kita atau bahkan kita sendiri pernah melakukan tindakan korupsi. Efek bola salju yang ditimbulkan atas terjadinya tindak pidana korupsi seperti yang kita rasakan sangat berimbas kepada masyarakat banyak bahkan efek dari suatu tindak pidana korupsi berlangsung dalam rentang waktu yang sangat lama hal ini terbukti ketika era orde baru dimana kultur pada era itu sangat kental akan tindakan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang seakan-akan hal tersebut merupakan pakem yang wajib bagi setiap pejabat Negara pada saat itu hingga melahirkan rezim dimana pada setiap proses, mekanisme, tahapan apapun itu syarat akan tindakan-tindakan koruptif yang didukung oleh segenap kabinet dan aparat pada waktu itu, dalam arti luas korupsi berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan peribadi sedangkan jabatan adalah kedudukan kepercayaan seorang diberi wewenang atau kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga, lembaga itu bisa lembaga swasta pemerintah maupun nirlaba sehingga melahirkan variasi-variasi pelaksanaan tindak pidana korupsi yang semakin modern  yang semakin menyulitkan aparat penegak hukum untuk mengendus perilaku korupsi yang sedang berlangsung terjadinya perubahan kebijaksanaan yang sedang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang sudah sakit sehingga yang tercipta bukan mengurangi tindakan koruptif tetapi malah menimbulkan persekonkolan (konspirasi), pertukaran konsesi politik dan standar operasional yang bertujuan memangkas tindakan koruptif malah diperlakukan semau-maunya oleh pihak-pihak yang ditugaskan memutus rantai korupsi. Sebelum berbicara lebih lanjut penulis ingin mengungkapkan apa makna korupsi itu sendiri dari beberapa referensi yang penulis baca :
dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “Korupsi” (dalam bahasa latin corruption =penyuapan; coruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalah gunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan pemalsuan serta ketidak beresan lainnya. Adapun arti harfiah korupsi dapat berupa[1] :
  1. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran (S. Wojowasito-W.J.S Poerwadarminta, Kamus lengkap inggris-indonesia, indonesia-inggris, Penerbit Hasta, Bandung)
  2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, permintaan uang sogok, dan sebagainya (W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit: Balai Pustaka, 1976),
“Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja, korupsi bias mencakup kegiatan yang sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi dalam tubuh organisasi (misalnya penggelapan uang) dan diluar organisasi (misalnya pemerasan).[2]
Berdasarkan pelbagai pengertian singkat diatas kita hampir dapat menarik suatu benang merah kesamaan bahwa pengertian korupsi dipelbagai literatur hampir menemui arti yang sama, jelas bahwa korupsi baik itu terjadi dinegara maju maupun dinegara berkembang merupakan suatu tindak pidana yang dipandang serius oleh setiap Negara beradap. Menurut Sutherland Korupsi adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan social yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaanya[3]. Penulis sendiri separuh setuju akan pendapat Sutherland tersebut ada benarnya dan ada pula aspek kelemahannya disalah satunya mungkin era dan masa sudah berubah dan semakin kompleksnya suatu tindak pidana sehingga tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kedudukan dalam suatu badan. Tampaknya pandangan Sutherland tersebut memandang pada masanya yang cenderung pelaku Tindak Pidana Korupsi hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, berdasarkan pengertian dan penjabaran tersebut mungkin kita harus berfikir lebih atas upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan semata-mata pendekatan yang bersifat hukum semata yang mengedepankan sanksi pidana berupa: Pidana Mati (pasal 2 ayat 2 UU.No,31 Tahun 1999), Pidana Penjara (pasal 2 ayat 1, pasal 3, pasal5, pasal 7,8,9,10,11,12, pasal 21,22,23,24 UU No.31 tahun 1999), Pidana Tambahan, Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya, terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh dan atas nama suatu Korporasi (pasal 20 ayat 1-6 UU No.31 Tahun 1999). Mandulnya upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku Tipikor sebelum adanya KPK mungkin dapat kita jadikan sebagai bahan Komparasi dalam tatanan hukum kita karena pada dasarnya dalam menanggulangi tindak pidana perlu dilakukan dua langkah pasti yaitu dengan jalan Penal (kebijakan Formulatif, Kebijakan Aplikatif, Kebijakan Eksekutif) dan Non Penal (Pendidikan Anti Korupsi)[4], maka dari itu Kebijakan Penal perlu dipertegas dan diperjelas mengenai langkah Aplikatif sebagai upaya pencegahan seperti yang terjadi dinegara China para Koruptor ditembak mati, sementara di Malaysia orang yang melakukan TP.Korupsi dihukum dengan berat. Berkaca dari pada itu sebenarnya indonesia memiliki aturan yang hampir sama dengan rumusan hukuman mati bagi koruptor di China namun langkah penerapannya belum juga menemui titik terang, sebagai mana dalam Pasal 2 ayat 2 UU No.31 Tahun 1999 seorang dapat dipidana mati atas tindak pidana korupsi yang dilakukan terjadi pemberatan apabila pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebuah pengulangan Tindak Pidana Korupsi dan Negara dalam keadaan Krisis Ekonomi. Yang menjadi pertanyaan penulis disini adalah apakah para penegak hukum di negeri ini belum bias menindak koruptor dengan tegas apakah mereka belum bias memaknai arti dan esensi pasal 2 ayat 2 tersebut yang secara jelas menyebutkan pidana mati bagi koruptor, mungkin pera penegak hukum masih memandang Negara belum dalam krisis ekonomi, betapa lucunya lagi bahwa sanksi pidana yang diberikan kepada koruptor selama ini tergolong lemah dan tidak memberikan efek jera dari system pemidanaan yang cenderung ringan. Bahkan belakangan ini para koruptor lebih banyak mendapatkan remisi atau bahkan grasi dari presiden sungguh ironi dan badai dalam penegakan hukum pidana kita. Karena korupsi adalah kejahatan kalkulasi ekonomi, jika probabilitas tertangkap kecil, hukuman ringan dan hasil yang diperoleh besar dibandingkan dengan insentif yang diperoleh maka sangat besar kemungkinan tumbuh subur korupsi diberbagai bidan, bila kita ingin melakukan pencegahan, maka kita harus berani melakukan perubahan dengan menperberat hukuman pidananya, meningkatkan probilitas tertangkap, dan mengaitkan gaji dengan hasil kerja (remunerasi), kita harus meminimalisir monopoli dan meningkatkan akuntabilitas, memberdayakan diagnose partisipatoir masyarakat dalam pengaduan dan pencegahan tindak pidana korupsi.
Menyiapkan serangan dalam strategi mencegah korupsi kita sebanarnya harus belajar banyak dari Negara Hong kong dalam kesuksesan mereka membasmi Korupsi, walau sekarang di Indonesia kita memiliki lembaga Super Body sekalas KPK tapi selama ini pemberantasan korupsi kurang manjur untuk mengobati penyakit bawaan yang sudah menjalar kemana-mana. Memerangi korupsi jangan dianggap tujuan akhir tapi lebih dari itu memerangi korupsi adalah suatu prinsip orientasi untuk membenahi administrasi pemerintahan yang lebih baik.
Pada tahun 1970an kepolisian Hong Kong terlibat sedalam-dalammnya dalam jaringan obat bius, judi dan pelacuran jaringan-jaringan ini member uang kepada polisi agar polisi tidak mengusik mereka. Departemen kepolisian membentuk sindikat sendiri untuk mengurus pemasukan dari jaringan-jaringan itu Misalnya, dibagian barat Kowloon, satu sindikat menarik pungutan dari tempat menisap candu dan penjual candu melalui perantara, uang yang terkumpul kemudian dierahkan kepada perwira menengah. Perwira tinggi mendapat bagian secara teratur untuk menutup mulut mereka, sindikat ini memiliki suatu cara yang rumit untuk membagi dan mengelola penerimaan illegal itu. Korupsi mewabah dalam system penerimaan calon polisi berdasarkan kecakapan, dan kantor anti korupsi milik departemen polisi itu sendiri juga melakukan korupsi.[5]
Waktu berjalan dan sindikat korupsi di Hong Kong terus menggurita di kepolisian Negara Hong Kong, muncul ide member kewenangan memeriksa rekening bank pegawai pemerintah, gaya hidup dan kekayaan pejabat, melakukan pemecatan terhadap pejabat tersebut apabila punya kekayaan yang tidak jelas sumbernya bila langkah ini berhasil maka tahapan selanjutnya mengalihkan tanggungjawab pembuktian (pembuktian terbalik), namun meski sudah dilakukan semua ini korupsi tetap saja terus berjalan. Untunglah Gubernur hongkong yang baru Murray MacLehose, dia menjalankan suatu strategi baru yang berani dia menbentuk suatu komisi independen melawan korupsi (ICAC – Independent Commision against Corruption) yang langsung melapor kepadanya dan menbubarkan kantor anti korupsi kepolisian. ICAC memiliki kekuasaan yang besar yaitu wewenang menyelidiki meski demikian badan ini lebih menekankan pencegahan dan partisipasi warga. [6]
Singkat cerita langkah yang di tempuh oleh Murray MacLehose tersebut sangat efektif karena langkah menbentuk ICAC ini merupakan tonggak awal pemberantasan korupsi dengan memulainya dengan Reformasi Kultural dalam badan penegak hukum itu sendiri, disini rupanya Murray MacLehose sadar betul jika hendak menyapu pelaku Tipikor seyogianya sapunya harus bersih dari kotoran agar kotoran yang akan disapu dapat bersih. Langkah yang luar biasa yang ditempuh oleh Murray MacLehose ini seharusnya menjadi kaca bagi indonesia yang sedang giat-giatnya memberantas korupsi, dengan melakukan reformasi substansial, Struktural dan cultural seperti yang dilakukan Murray MacLehose di Hong Kong dulu dapat kita terapkan dengan penuh rasa optimis dan totalitas Tindak Pidana korupsi seharusnya dapat kita hilangkan bukan sebagai angan-angan atau mimpi disiang bolong semata.
Lebih kurangnya penulisan dalam artikel tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia adalah kelemahan penulis yang menulis artikel ini ditengah malam menuju detik-detik peringatan hari Anti Korupsi. Semoga bermanfaat.

[1] Eva Hartanti,S.H, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hal.8


[2] Lihat John McLaren, “Supplier Relation And The Market Context: A Theory of Handshakes” (New Heven: Economic Growth Center, Yale University, 1996) dan Rujukan di dalamnya.


[3] Setiyono, Kejahatan Korporasi, Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing, Malang 2005, Hal.20


[4] Ali Masyhar,S.H,M.H, Sari Kuliah Politik Hukum Pidana


[5] Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa & H.Lindsey Parris, Corrup Cities. A Practical Guide to Cure and Prevention, Studies Oakland, California 2000


[6] Ibid. Hal 20-23


Referensi:
-Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintah Daerah, Teten Masduki
-Nasionalisme Baru Tanpa korupsi, KP2KKN Jawa tengah
-Tindak Pidana Korupsi, Evi hartanti,S.H
-Sebilu Kekuasaan dan Ruang-Ruang Bisu, Makassar Intelektual Law
-Hukum Pembuktian Pencucian Uang (money loundering), Drs. Tb. Irman S,S.H.,M.H


Di Tulis Di Semarang Tanggal 8 Desember Pukul 00:12 Tahun 2010 oleh ULHAQ ANDYAKSA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar