Rabu, 15 Desember 2010

PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS DI BEBERAPA NEGARA DAN DELIK PENCURIAN (catatan singkat ulhaq andyaksa)


Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling)P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”. Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.Moeljatno menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Oemar Seno Adji menentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”.Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions)


Lebih lanjut Von Feurbach menyebutkan makna asas legalitas menimbulkan tiga peraturan lain. Pertama, setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla poena sine lege).  Kedua, penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine). Ketiga, perbuatan yang diancam dengan pidana yang menurut undang-undang, membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-undang dijatuhkan (nullum crimen sine poena legali). Berikutnya Richard G. Singer dan Martin R. Gardnermenyebutkan asas legalitas berkorelasi dengan 3 (tiga) dimensi, yaitu: Pertama,pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif. Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang berlaku surut. Ketiga, perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau institusi yang berwenang.
Dikaji dari perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas legalitas tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada International Criminal Court (ICC) asas legalitas diatur khususnya pada article 22, article 23 dan article 24. Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege ayat (1) menyebutkan, “A person shall not be criminally responsible under this Statute unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the court”, dan ayat (2) menyebutkan, “The definition of a crime shall not be extended by analogy. In case of ambiguity. The definition shall be intepreted in favour of the person being investigated, prosecuted, or convicted”, dan ayat (3), “This article shll not affect the characterization of any conduct as criminal under international law independently of the Statute”. Kemudian article 23 berbunyi, “A person convicted by the court may be punished only in accordance with the Statute”, dan article 24 ayat (1) selengkapnya berbunyi bahwa, “No person shall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute”, dan ayat (2) berbunyi bahwa, “In the event of change in the applicable to a given case prior to a final judgment, the law more favorable to the person being investigated or convicted shall apply”.
Kemudian dalam Pasal 9 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia yang ditandatangani di San Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan mulai berlaku pada tanggal 18 Juli 1978 asas legalitas diformulasikan dengan redaksional bahwa, “No one shall be convicted of any act or omission that did notconstitute a criminal offence, under applicable law, at the time when it was committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence. If subsequent to the commission of the offense that law provides for the imposition of a lighter punishment, the guilty person shall benefit thereform”. Berikutnya, asas legalitas juga terdapat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III) tanggal 10 Desember 1948 dimana pada Pasal 11 ayat (2) disebutkan asas legalitas dengan redaksional bahwa, “No one shall be had guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was commited. Not shall a heavier by imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed”. Selain itu, asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 7 ayat (2) African Charter on Human and People Rights yang ditandatangani di Nairobi, Kenya, dan berlaku pada tangal 21 Oktober 1986 yang menyebutkan bahwa, “No one may be condemmed for an act or omission which did not constitute a legally punishable offence for which no provision was made at the time it was committed. Punishment is personal and can be imposed only on the offender”.
           Kemudian pada KUHP Jerman yang diumumkan tanggal 13 November 1998(Federal Law Gazette I, p. 945, p. 322) disebut Strafgesetzbuch (StGB) padaSection 1 No Punishment Without a Law disebutkan bahwa, “Sebuah perbuatan hanya dapat dipidana apabila telah ditetapkan oleh undang-undang sebelum perbuatan itu dilakukan”, (An act may only be punished if its punishability was determined by law before the act was committed). Pada asasnya, asas legalitas ini di Jerman juga berorientasi kepada dimensi penuntutan, sehingga menurutGeorge P. Fletcher di Jerman menganut “positive legality principle”.
            Kemudian asas legalitas ini juga dikenal di Negara Polandia. Pada ketentuan Pasal 42 Konstitusi Republik Polandia maka asas legalitas dirumuskan dengan redaksional, “Only a person who has commited an act prohibited by a statute in force at the moment of commission there of, and which is subject to a penalty, shall be geld criminally responsible. This principle shaal not prevent punishment of any act which, at the moment of its commission, constituted an offence within the meaning of international law”. Berikutnya asas legalitas ini dirumuskan dalam Pasal 7 Konstitusi Perancis dengan menyebutkan bahwa, “A person may be accused, arrested, or detained only in the cases specified by law and in accordance with the procedures which the law provides. Those who solicit, forward, carry out or have arbitrary orders carried out shall be punished; however, any citizen summoned or apprehended pursuant to law obey forhwith; by resisting, he admits his guilt”.  Kemudian dalam Pasal 25 Konstitusi Spanjol ditegaskan asas legalitas adalah, “No one may be convicted or sentenced for actions or omissions which when committed did not constitute a criminal offence, misdemeanour or administrative offence under the law then in force” dan dalam Pasal 25 Konstitusi Italia asas legalitas dirumuskan sebagai, “No one shall be punished on the basic of a law which has entered into force before the offence has been committed”.                                                     
           Selain negara-negara di atas maka asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 14 Konstitusi Negara Belgia sebagai, “No punishment can be made or given except in pursuance of the law”. Kemudian Pasal 29 Konstitusi Republik Portugal menentukan bahwa, ”No one shall be convicted under the criminal law except for an  act or omission made punishable under exiisting law; and no one shall be subjected to a security measure, except for reasons authorised under existing law. No sentences or security measures shall be ordered that are not expressly provided for in existing lawas. No one shall bee subjected to a sentence or security measure that is more severe than hose applicable at the time the act was committed or the preparations for its commission were made. Criminal laws that are favourable to the affender shall aply retroactively”. Selanjutnya pada Pasal 57 Konstitusi Hongaria disebut asas legalitas dengan redaksional sebagai, “No one shall be declared guilty and subjected to punishment for an offense that was not a criminal offense under Hungarian law at the time such offense was committed”. 
KUHP NORWEGIA
Pasa l3 aturan umum (General Provisions)
•Menganut Lex Temporis delictie;
•Lebih mengutamakan Undang-Undang lama. Undang-Undang baru akan diterapkan apabila:
a. Undang-Undang baru berlaku sebelum putusan pengadilan dijatuhkan;
b. Undang-Undang baru itu lebih menguntungkan dari pada Undang-Undang lama
KUHP POLANDIA
Pasal 1 dan 2 bagian Umum Bab1 “Principles of Penal Liability”:
•Menganut asas lextemporis delictie(pasal1);
•Jika ada perubahan Undang-Undang (Pasal2):
a.Jika menurut Undang-Undang baru tetap sebagai TP, Undang-Undang baru yang akan berlaku, kecuali jika Undang-Undang lama lebih meringankan;
b.Jika bukan TP menurut Undang-Undang baru, maka pidana menurut Undang-Undang Lama dihapus, berlaku Undang-Undang baru.
Perbandingan Asas Legalitas pada KUHP THAILAND dengan KUHP INDONESIA
Pasal 2 aturan umum buku 1:
•Menganut Lex temporis delicti (ayat1);
•Mengatur perubahan UU (ayat2), dalam hal TP dalam UU Lama bukan lagi TP dalam UU baru. Dengan 2 kemungkinan:
1.Terdakwa dibebaskan sebagai pelanggar;
2.Jika putusan pemidanaan final, maka:
•Jika belum dijalani, dinyatakan belum pernah dipidana;
•Jika telah menjalani sebagian, maka akan dihentikan
Jika menurut UU Baru TP dalam UU Lama tetap sebagai TP ?
Ayat 3: •UU yang lebih menguntungkan Terdakwa yang akan diterapkan, kecuali apabila perkara telah final:
1.jika dijatuhkan lebih berat, maka pengadilan akan melakukanre‐determining sesuai dengan UU baru.
2.Jika pidana mati, maka akan ditunda, dan diganti pidana terberat menurut UU baru
Satu hal yang merupakan kunci KUHP modern yaitu asas legalitas, hal ini tercermin dalam KUHP Thailand yang mengatur ketentuan tentang perubahan perundang-undangan yang menguntungkan terdakwa seperti yang dicantumkan dalam pasal 2 aturan umum buku I, berbeda dengan pasal 1 ayat 1 dsan 2 KUHP indonesia, dalam KUHP Thailand diperluas sehingga meliuputi terpidana yang sedang menjalani pidananya, akan menerima keuntungan, jadi jika undang-undang berubah dari pidananya yang baru jauh lebih ringan atau dihapus  atau jika jika dijatuhkan lebih berat, maka pengadilan akan melakukanre‐determining sesuai dengan UU baru. Jika pidana mati, maka akan ditunda, dan diganti pidana terberat menurut UU baru. Asas legalitas indonesia hanya menjamin jika ada perubahan undang-undang yang menguntungkan terdakwa maka akan diterapkan ketentuan yang paling ringan bagi terdakwa.
Perbandingan Asas Legalitas pada KUHP KOREA dengan KUHP INDONESIA
Dalam bagian I KUHP Korea tegas dicantumkan asas legalitas (nullum crimen sine lege) bahkan kebetulan pasalnya sama dengan KUHP (lama) Indonesia, juga rancangan KUHP, begitu pula belanda, yaitu pasal 1 ayat 1. Akan tetapi, perumusannya agak lain, karena bukan saja suatu perbuatan tidak dapat dipidana selaian atas ketentuan undang-undang, tetapi juga disebut kiminalitas atau pemidanaan suatu perbuatan harus ditentukan dengan undang-undang yang mendahulu. yang berarti ukuran kriminalitas  ditentukan oleh undang-undang.
Begitu pula perubahan undang-undang yang menguntungkan terdakwa, juga diatur dalam pasal 1 ayat 2 KUHP kita. Akan tetapi, diperluas dalam pasal 1 ayat 3, karena perubahan perundang-undangan yang menguntungkan terpidana maka pelaksanaan pidana dapat dikurangi.
Berbeda sekali dengan kita, sebagai contoh penhapusan undang-undang cek kosong 1964, banyak orang yang masih menjalani pidana berat (sampai 10 tahun), undang-undang dicabut hingga penarikan cek kosong tidak lagi merupakan delik (berdiri sendiri). Hal ini sungguh tidak adil.
Pada dasarnya Asas legalitas dalam hukum pidana dibeberapa negara menpunyai kesamaan tujuan dan makna yaitu untuk menperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, dan mengefektifkan sanksi hukum pidana, mencegah penyalah gunaan kekuasaan, menperkokoh penerapan Rule of Law .
Penerapan Asas Legalitas bervariasi dan berbeda Negara yang satu dengan Negara lain, tergantung apakah Negara menganut sistrem pemerintahan Demokratis atau tirani juga tergantung pada system hukum yang dianut. Jika system Eropa Kontinental maka cenderung menerapkan Asas Legalitas, berbeda halnya dengan Negara yang menganut sistem hukum ‘Common Law’ Asas Legalitas tidak terlalu menonjol karena prinsip “The Rule of Law” lebih dikembangkan, tidak mengenal analogi dan menerapkan konsep “Due Process Of Law” (pelaksanaan hukum yang baik dan benar).
Perbandingan Pasal Pencurian di KOREA dengan di INDONESIA
`Kuhp Korea hanya terdiri atas dua bagian, yaitu tentang ketentuan umum dan bagian kedua tentang bagian khusus yang berisi rumusan delik serta sanksinya. Mereka tidak mengenal adanya pelanggaran (violation) sebagai mana yang tercantum dalam buku III KUHP kita dan Belanda serta buku IV KUHP Prancis.
Jadi, mirip dengan KUHP Jerman (barat) tahun 1975 yang modern itu. Rumusan deliknya praktis, tidak terlalu teoretis seperti KUHP kita (dan Belanda). Dalam hal cara merumuskan delik, mirip dengan KUHP Malaysia, singapura dan Brunei. Delik pencurian misalnya dirumuskan : A person who steals property of another(seorang yang telah mencuri harta benda orang lain). Bukan mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud memiliki dengan melawan hukum seperti pasal 362 KUHP kita atau pasal 310 WvS Belanda, lalu secara teoretis dipersoalkan tentang pengertian “mengambil”, “memiliki”, “melawan hukum” yang para pakar saling berbeda satu sama lain.
Apa artinya “mencuri” rupanya dianggap semua orang dengan sendirinya sudah tahu. Suatu undang-undang yang memakai bahasa yang mudah dimengerti oleh rakyat dipandang baik. Tercermin pada KUHP Korea ini.
Perbandingan Pasal Pencurian di PORTUGAL dengan di INDONESIA
Dalam KUHP Portugal Pasal pencurian telah memiliki stelsel pidana yang mempunyai jangka waktu relatif, karena tidak ada minimum umum dan maksimum umum. Pada pasal pencurian dalam KUHP Portugal telah ditentukan secara khusus minimum dan maksimumnya. Dan dikenal keadaan yang memperingan pidananya, misalnya jika kerusakan telah diperbaiki. Maka dapat dikenakan pidana yang kurang dari minimumnya. Dalam Pasal Pencurian pada KUHP Portugal dikenal juga istilah penahanan akhir pekan (Prisao por dias livres) yang dijalankan maksimum 15 akhir pekan yang masing masing terdiri atas minimum 36 jam dan maksimum 48 jam. Satu akhir pekan sama dengan 4 hari penuh pidana penjara. Pidana penjara dapat diganti dengan penahanan akhir pekan. Jika hakim mempertimbankan tentanng kepribadian dan keadaan pribadi, tingkah laku sebelum dan sesudah delik dilakukan dan keadaan pada waktu delik dilakukan, penjatuhan pidana akhir pekan akan memperlihatkan pengutukan yang efektif terhadap delik itu dan mencegah residivisme. Berbeda halnya dengan Pasal pencurian dalam KUHP Indonesia yang tidak dikenal adanya penahanan akhir pekan yang dapat menkonversi pidana penjara kedalam pidana akhir pekan, dalam stelsel pidana pada pasal 362 KUHP Indonesia juga mengenal minimum umum dan maksimum umum yang tidak dikenal dalam pasal pencurian dalam KUHP Portugal yang dalam KUHP portugal tiap rumusan delik telah ada minimum umum dan maksimum umum pada tiap-tiap pasalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar