Rabu, 15 Juni 2011

PERADILAN IN ABSENSIA UNTUK TINDAK PIDANA KORUPSI

Selama awal tahun 2010 hingga 2011 jika anda bertanya apakah yang sedang populer di Indonesia maka akan muncul kata yaitu ``Korupsi``, korupsi merupakan momok yang amat menakutkan bangsa ini yang telah menggerogoti perekonomian dan keuangan Negara selama puluhan tahun atau bahkan semenjak Negara ini di cetuskan pada tanggak 17 agustus 1945 mungkin praktik korupsi telah ada dan tumbuh menjadi suatu jaringan yang sistemik dan kompleks sehingga untuk mengungkap suatu tindak pidana korupsi perlu langkah yang cukup ekstrim dalam rangka penegakan hukum pidana, saya teringat perkataan dosen system peradilan pidana saya yang mengatakan ``untuk mengungkap dosa besar kita diperbolehkan melakukan dosa kecil`` dalam artian untuk menberantas tindak pidana korupsi yang begitu kompleks dan jejaringnya yang begitu terorganisir kita selayaknya harus sedikit melanggar dari aturan yang ada seperti penyimpangan Asas Praduga Takbersalah yang menperoleh tempat yang tegas dalam KUHAP atupun dengan cara-cara dan terobosan yang baru untuk menembus jejaring pelaku tipikor yang begitu terorganisir[1].
Belajar dari pengalaman Orde Baru kemarin ketika berkuasa selama 32 tahun dapat dipahami betapa tindak pidana korupsi ini telah tumbuh subur dan menjadi suatu rutinitas penguasa waktu itu, dengan menggunakan jabatan atau dalam bahasa hukumnya disebut Occupational Crime yang merupakan kejahatan yang dilakukan pejabat atau birokrat seperti misalnya tindakan sewenang wenang yang dapat merugikan masyarakat, korupsi, manipulasi, kolusi dan berbagai jenis kejahatan dan kewenangan yang dimilikinya. Kejahatan jabatan ini mengandung dua element sebagai mana White Collar Crime. Element pertama berkaitan dengan status pelaku tindak pidana (status of the offender), dan yang kedua berkaitan dengan karakter jabatan tertentu (the occupational character of the offence) berkaitan dengan element pertama kejahatan jabatan berhubungan dengan individu yang sehubungan dengan jabatannya, praktek inilah yang tumbuh subur selama decade orde baru hingga sekarang yang masih sangat eksis dan popular dikalangan pejabat kita sering kali jabatan digunakan sebagai instrument untuk melakukan tindak pidana korupsi dan melakukan kejahatan jabatan lainnya. Element yang kedua berkaitan dengan karakter jabatan pelaku tindak pidana hal ini memungkinkan apabila dalam suatu jabatan memungkinkan untuk melakukan suatu tindak pidana korupsi dan pada umumnya kejahatan jabatan menurut Sutherland[2] sebagai Crime committed by person of respectability and high social status in the course of their occupation ( kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan social yang tinggi dalam pekerjaannya) perumusan yang dilakukan oleh Sutherland ini kemudian merombak paradigma masyarakat bahwa pelaku kejahatan adalah orang-orang yang berasal dari kelas social yang rendah seperti maling ayam, tukang cabul dan kejahatan kekerasan lainnya. Proses tersebut berjalan begitu cepat, efektif, sistematis dan terkendali yang merupakan kejahatan yang begitu kompleks dan penuh dengan sandiwara kepalsuan.
Ketika zaman berubah dari Rezim Orde baru ke Zaman Reformasi maka kita menuju pada posisi transisi menuju sebuah Negara yang bersih dari korupsi, penegakan hukum, hak asasi manusia, transparansi birokrasi, reformasi birokrasi, dan pembersihan mentalitas korupsi para petinggi Negara, keseluruhan proses transisi tersebut dari masa B.J.Habibie hingga sekarang ternyata belum menampakkan tanda kearah cahaya terang dalam pemberantasan korupsi, pada nyatanya reformasi hanya berhasil mengganti president tapi tidak dengan mental pejabat akibatnya dapat dirasakan hingga sekarang masih suburnya praktek-praktek korupsi dimana mana mulai dari stakeholder yang terendah hingga kelevel eksekutif sebagai decision maker lahirnya undang-undang korupsi seperti UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi; Kepres RI No 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi; PP RI No 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU RI No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas dari KKN; UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999; UU No 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang: PP No 71 tahun 2000 tentang tata cara Pelaksanaan Perang Serta Masyarakat Dan Pemberian Penhargaan Dalam Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; PP No 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Rapatnya barisan pelaku tindak pidana korupsi menjadikan hokum sering kali dinilai tidak efektif dan terjadi stagnantasi dalam penegakan hokum terhadap pelaku tindak pidana korupsi.[3]
Seiring dengan berjalannya waktu pelaku tindak Pidana Korupsi semakin mendapatkan ritme yang singkron dengan keragu-raguan aparat penegak hukum dan semakin kreatif dalam mencari celah hukum yang terdapat dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, para pelaku tindak pidana Korupsi semakin percaya diri akan kemampuan mereka memalsukan dan menhianati keadilan dalam menggerogoti keuangan Negara kemudian setelah dia merasa sudah terancam sanksi Pidana dengan cerdas dan lihai mereka membuat alasan  yang nampak logis dan menipu penegak hukum yang bertingkah jaim, setelah mereka mulai merasa terendus dengan mudah mereka melarikan diri atau berpura-pura sakit seperti yang terjadi pada kasus Mantan Presiden Soeharto yang sakit parah, Anggoro Wijoyo yang melarikan diri ke Singapura, dan yang paling baru Nunun Nurbaiti pelaku suap Trevel Cek terhadap anggota DPR RI, serta Kasus Bendahara Partai Demokrat M.Nazaruddin yang melarikan diri ke Singapura dengan alasan sakit setelah dipanggil KPK, mungkin dengan berpura-pura sakit dan mengaku akan berobat ke Luar negeri akan memudahkan jalan pelarian mereka terhadap pertanggungjawaban yang meraka akan terima daripada tinggal di Indonesia dan beresiko menjalani Sanksi Pidana yang cukup meraka anggap berat selain itu pola-pola pelarian keluar negeri utamanya Negara tetangga Singapura yang tidak mempunyai perjanjian Ekstradisi menambah semangat pelaku Tipikor untuk melanjutkan kehidupannya dinegara tetangga itu, dengan belajar dari pengalaman Historis dan melakukan study dan kajian Kriminal Forensik penulis berpendapat bahwa tindakan pelarian diri maupun dengan berpura-pura sakit merupakan akal bulus dari pelaku tindak pidana korupsi untuk lari dari Pertanggungjawaban Pidana yang diancamkan padannya.
Sebelumnya penulis ingin melakukan suatu kajian terhadap suatu ketentuan dalam KUHAP yang memberikan kesempatan dapat dilakukannya  sidang In Absensia yaitu dalam pasal 213 dan 214 ayat (1) KUHAP, mengatur dapat dilakukannnya persidangan In Absensia yaitu dalam perkara-perkara lalu lintas jalan, yakni yaitu dengan terdakwa dan kuasanya tidak hadir pemeriksaan perkara dilanjutkan, adanya ketentuan ini ditujukan untuk mempercepat penyelesaian perkara , dimana dalam perkara lalu lintas diterapkan prinsip peradilan cepat, dan di Luar KUHAP ada beberapa ketentuan yang menkehendaki boleh dilakukannya sidang In Absensia yaitu UU Tindak Pidana Ekonomi, dan didalam UU No.7/Drt/1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, peradilan In Absensia diatur dalam [4]Pasal 16 yaitu jika sudah cukup alasan untuk menduga bahwa seorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya, ada putusan yang tak dapat di ubah lagi, telah melakukan suatu tindak pidana ekonomi maka hakim  atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat memutus perampasan barang-barang yang telah disita. Disinilah kekhususan dari suatu UU Pidana yang dibuat diluar KUHP artinya terdapat ketentuan-ketentuan yang berbeda dari ketentuan Pidana Umum. Khususnya dalam hukum acaranya yang membuka jalan untuk dilakukannya sidang In Absensia.
Solusi yang penulis anggap tepat untuk tindakan tersebut adalah dilakukannya sidang In Absensia sebagai langkah Preventif untuk mengejar pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri keluar negeri dan pengembalian aset hasil tindak pidana dan terhadap Implementasi Peradilan In absentia dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Dengan mengadili mereka secara in absentia sesuai dengan peraturan perundang-undangan sudah tepat demi kepastian hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) tersangka/terdakwa, karena implementasi tersebut merupakan salah satu upaya mengefektifkan penyelamatan kekayaan dan keuangan negara. Dengan adanya putusan hakim, harta tersangka/terdakwa yang telah disita dapat langsung dieksekusi, dan meskipun mungkin ada hambatan dalam pelaksanaan eksekusinya. Peradilan in absentia dirasakan merupakan solusi yang paling pas untuk menjawab permasalahan tersebut. Pengadilan in absentia sendiri dapat diartikan sebagai upaya untuk mengadili seorang terdakwa dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri. Pengaturan peradilan in absentia ini di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tidak dicantumkan secara jelas, baik di dalam ketentuan pasal-pasal yang bersangkutan maupun di dalam penjelasannya. Hanya di dalam pasal 196 dan pasal 214 terdapat sedikit pengaturan tentang in absentia yang sifatnya terbatas.
Peradilan In Absensia sendiri dapat dilaksanakan dan harus memenuhi unsur-unsur yaitu :
1.      Karena terdakwa tinggal atau berpergian ke luar negeri 
2.      Adanya usaha dari terdakwa untuk melakukan tindakan pembangkangan, misalnya melarikan diri . 
3.      Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya [5]
Berdasarkan paparan ketiga poin diatas penulis dapat  mengambil suatu benang merah dari hambatan dan kesulitan jika dilakukannya peradilan in Absensia yaitu kesulitan pertama adanya data tidak Rill atau sepihak sedangkan dalam hukum pidana materil adalah kongkret, kedua tidak bisa dilakukanyya klarifikasi terhadap terdakwa karena pembuktiannya sepihak, ketiga disini Hakim agak kesulitan untuk menimbulkan keyakinannya, keempat Jaksa harus menhadirkan bukti kongkret seperti hasil audit dll. Sedangkan hukum Pembuktian yang dianut di Indonesia adalah system pembuktian Negatif plus keyakinan hakim dimana hakim harus mendengar pihak-pihak (audi et alteram patem) disinilah kesulitan dan agak lunturnya nilai-nilai objektivitas karena hakim tidak dapat mendengarkan keterangan dari terdakwa namun untuk menyeret pelaku tindak pidana dan didukung oleh legalitas yang ada didalam undang-undang pidana khusus dapatlah dilakukan peradilan In Absensia.
Dengan artian lain bahwa sidang In Absensia ibarat Sunnah dijaman  sekarang, yang seakan-akan ogah dilakukan oleh aparat penegak huku kita. [6]Peradilan In Absentia dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan mereka para terdakwa merupakan salah satu potensi yang merusak perekonomian negara dan tindak pidana yang dilakukan tergolong tindak pidana khusus yang membahayakan negara dan merugikan keuangan negara yang sangat besar. Serta tidak adanya  pertanggungjawaban dari para terdakwa, setelah terbukti bersalah melakukan tindak pidana, akan tetapi melarikan diri sehingga perkaranya diadili dan diputus secara In Absentia (tanpa kehadiran terdakwa). Ketentuan ini juga menunjukan kelebihan yaitu mempercepat dan mempermudah pengembalian asset-asset serta menciptakan kepastian hukum. Sedangkan kelemahannya adalah ketentuan tersebut hanya menjerat terdakwa yang telah dipanggil secara sah namun tidak hadir tanpa alasan yang sah dan terdakwa yang telah meninggal dunia namun terbukti secara sah bersalah, sedangkan untuk yang sakit permanen atau sakit buatan seakan tidak dapat terjamah oleh ketentuan tersebut yang mungkin tidak hadirnya dalam proses persidangan patut diduga dengan alasan-alasan yang sengaja dibuat untuk menghindari proses hukum terhadapnya. Dengan adanya mekanisme peradilan In Absensia dalam UU No.31 tahun 1999 merupakan langkah maju untuk penegakan hukum pidana terhadap pelaku tipikor yang mempunyai alasan yang sangat kretif untuk menipu penegak hukum, dengan adanya [7]sidang In Absensia maka tidak ada lagi hak Imunitas yang dimiliki dengan melarikan diri keluar negeri  dan dengan demikian tidak ada lagi tempat berlindung (save heaven) dimanapun dan kemanapun koruptor tersebut melarikan diri dan menyembunyikan aset-aset hasil korupsinya,  dengan pengotimalan sidang In Absensia akan mengembalikan kerugian Negara yang dibawa kabur oleh para Koruptor sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa dengan keberanian melakukan sidang In Absensia maka kasus seperti Anggoro Wijoyo, Nunun Nurbaiti dkk tidak akan mendapatkan sanksi pengambilan harta kekayaan yang mereka peroleh dari hasil tindak Pidana korupsi walaupun mereka berada diluar negeri Vonis Pidana tetap dapat dijatuhkan dan eksekusi terhadap pidana perampasan kemerdekaan walaupun tertunda namun eksekusi terhadap hasil dari tindak pidana korupsi yang mereka lakukan dapat di eksekusi dengan  sesegara mungkin karena Indonesia telah meratifikasi UU Pencucian Uang, dan kembali lagi ke kultur hukum penulis berpendapat sebaik-baiknya aturan Perundang-undangan yang dibentuk akan tetapi jikalau mentalitas aparat penegak hukum selalu memberikan celah untuk melarikan diri terhadap pelaku tindak pidana korupsi maka akan sia-saialah undang-undang yang di formulasikan dengan tujuan yang baik, system peradilan pidana adalah system yang menuntut seluruh stakeholder yang terlibat untuk taat dan konsisten dalam menerapkan hukum yang berkeadlian.




[1] Ulhaq, Elegi Dalam Penegakan Hukum Pidana Materill, (Kumpulan Tulisan Hukum Tahun 2010)
[2] Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran , Yogyakarta, 2008, Hal 22
[3] Ulhaq, Renungan Tentang Tindak Pidana korupsi Dan Kejahatan Dalam jabatan (Kumpulan tulisan hukum Tahun 2010)

[4] UU No.7/Drt/1955 tentang  Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
[5] Pasal 38 UU No.31 Tahun 1999
[6] Tanpa Nama, Penerapan Peradilan In Absensia dalam rangka pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Yogyakarta, Paper FH UII Press
[7] Yopi Adriansyah, Tesis, Peradilan In Absensia Dalam kaitannya dengan perlindungan hak terdakwa tindak pidana korupsi, Jakarta, 2006, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Univ.Indonesia, Hal 72

**Di Tulis oleh Ulhaq Andyaksa 

1 komentar:

  1. seandainya saya ingin mengambil skripsi.,,ada hal menarik apa yang bisa saya teliti dari acara pidana?

    BalasHapus